VINSENSIUS GANDE
(Makalah yang diseminarkan pada SEMINAR NASIONAL dalam rangka HARI BAHASA IBU INTERNASIONAL diselenggarakan oleh Universitas Udayana, 17 Februari 2012)
I. Pendahuluan
(Makalah yang diseminarkan pada SEMINAR NASIONAL dalam rangka HARI BAHASA IBU INTERNASIONAL diselenggarakan oleh Universitas Udayana, 17 Februari 2012)
I. Pendahuluan
Secara
filosofis bahwa setiap bahasa memiliki bentuk, fungsi, dan makna. Aspek kajian
linguistik yang berupa bentuk, fungsi dan makna tersebut cukup menarik terutama
pada fitur-fitur semantik yang dimiliki secara inheren oleh leksikon sehingga dapat
membedakan leksikon yang satu dengan yang lainnya meskipun dalam satu komponen
makna.
Berbicara
tentang bentuk, fungsi, dan makna merupakan suatu kajian yang holistik dalam
sebuah bahasa. Hal ini dinyatakan secara tegas oleh Wierzbicka (1996) bahwa mempelajari
bentuk atau struktur bahasa tanpa memperhatikan aspek makna ibarat mempelajari
rambu lalu lintas dilihat dari ciri-ciri fisik saja. Sebab bahasa itu sendiri merupakan
suatu wahana pengungkap makna. Kemudian dipertegas oleh Frawley (1992) bahwa makna
bahasa merupakan suatu kerangka konseptual yang menggambarkan kategorisasi
dalam dunia, sehingga aspek bentuk, fungsi, dan makna bahasa tersebut dapat
dilihat sebagai wahana yang berisi representasi mental penutur bahasa tersebut.
Melihat pentingnya ketiga aspek bahasa tersebut, maka perlu diberikan perhatian
dalam disiplin ilmu linguistik.
Ruang
lingkup kajian penelitian ini adalah linguistik mikro khususnya bidang
semantik. Semantik merupakan aspek sentral dalam
kajian mengenai pikiran atau konseptualisasi, koginisi yang keseluruhannya
tidak dapat dipisahkan dari cara kita mengklasifikasikan dan merepresentasikan
pengalaman tentang dunia melalui bahasa.
Seperti yang diungkapkan Leech (2003) bahwa semantik tidak hanya
mengkaji masalah pokok dalam komunikasi di dalam organisasi sosial, dan pusat
studi pikiran manusia yaitu proses berpikir, kognisi, konseptualisasi yang
saling mengait dengan cara kita mengklasifikasikan dan mengemukakan pengalaman
kita tentang dunia nyata melalui bahasa, tetapi semantik pula sebagai titik
pertemuan berbagai persilangan arus berpikir dari berbagai disiplin ilmu, misalnya
linguistik, filsafat, dan psikologi.Dalam hal ini, teori semantik tidak
hanya bermanfaat bagi bahasa manusia yang alami, tetapi juga untuk kognisi
manusia karena ada suatu asumsi bahwa makna bahasa merupakan refleksi pikiran
manusia (Allan, 2001). Hal tersebut mengisyaratkan bahwa ranah kajian semantik
sangat kompleks.
Kompleksitas
aspek kajian semantik dapat terlihat jelas pada aspek kajian makna asali (semantik
alami). Melalui kajian makna asali suatu bahasa dengan mudah melihat hubungan
bahasa dengan aspek realitas objektif atau dunia di luar bahasa seperti
filsafat dan psikologi. Hal ini tampak jelas terlihat pada makna asali suatu
leksikon, frasa, dan kalimat yang digunakan oleh penutur bahasa BM.
Melihat
pentingnya aspek makna dalam kajian linguistik maka peneliti mengangkat unsur makna asali (semantik alami) verba “memotong”
dalam BM sebagai objek kajian ini. Pemilihan verba didasari oleh suatu pemikiran
filosofis bahwa verba yang paling berpengaruh terhadap kehadiran unsur-unsur
lain dalam kalimat. Unsur-unsur lain yang dimaksudkan di antaranya unsur
argumen. Jumlah argumen dalam suatu kalimat tergantung pada verba. Seperti yang
diungkapkan oleh Alwi dkk, (2003) bahwa verba merupakan unsur yang paling
penting dalam kalimat karena kebanyakan hal verba berpengaruh besar terhadap
unsur-unsur lain yang harus dan boleh ada dalam kalimat.
Penelitian terhadap verba “memotong”
dalam BM menjadi objek yang menarik dalam kajian semantik. Pentingnya tindakan memotong bagi masyarakat Manggarai tidak hanya dalam acara
adat, membuka ladang pertanian, aktivitas sehari-hari, tetapi juga dalam
mengiris tuak dari pohon enau. Di samping itu, verba “memotong” memiliki aktivitas fisik yang kompleks
(complex physical activities) yang
mencakupi motivasi prototypical, entitas yang diperlakukan, alat yang
digunakan, cara memotong, dan hasil yang diinginkan. Untuk diketahui, bahwa verba “memotong” tersebut
memiliki fitur semantik khusus yang disebut subtle
difference (Goddard, 2002) yang melekat pada beberapa leksikon.
Leksikon-leksikon tersebut telah membentuk konfigurasi makna pembeda antara
leksikon satu dengan yang lainnya terutama leksikon yang berada dalam medan
makna yang sama. Fitur-fitur pembeda dari setiap leksikal
tersebut dapat dieksplikasi melalui teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) yang
dipelopori oleh Anna Wierzbicka dan kolega-koleganya. Melalui metode
eksplikasinya, fitur-fitur pembeda masing-masing leksikon dapat dijelaskan
secara tuntas.
Masalah
pokok yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah realisasi leksikal verba
“memotong”, struktur semantik verba “memotong”, dan fitur-fitur pembeda struktur semantik
verba “memotong” dalam BM. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang
komprehensif mengenai realisasi leksikal verba “memotong”, dan struktur semantik verba “memotong” serta
fitur-fitur pembeda struktur semantik verba “memotong” BM.
Realisasi leksikal yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah bentuk-bentuk
leksikon dari verba “memotong”.
Secara
teoretis, manfaatnya sebagai dasar analisis lingual khususnya dalam
menganalisis struktur semantik verba, menambah khazanah pengetahuan semantik
terutama makna asali dari verba“memotong” dalam
BM, dan mengangkat
unsur-unsur semantik leksikal khususnya unsur
makna asali, polisemi, pilihan valensi, aloleksi, dan leksiko-sintaksis.
Manfaat praktis adalah sebagai dasar pertimbangan dalam berkomunikasi
sehari-hari bagi penutur BM dan untuk mengangkat nilai atau derajat dan harga
diri BM sebagai salah satu bahasa yang ada di Nusantara ini.
2. Metode
Penelitian
Rancangan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian kualitatif. Rancangan tersebut dilakukan dengan cara
peneliti bertindak sebagai instrumen utama dengan tujuan untuk menguraikan dan
menjelaskan karakteristik data yang sebenarnya dan mengetahui faktor-faktor
yang melatarbelakangi karakteristik data yang diperoleh di lapangan.
Jenis
data penelitian ini adalah data primer. Data primer terdiri atas data verbal
dan data nonverbal. Sumber data
adalah penutur BM-SK yang dipilih secara purposive
sampling, yaitu metode yang tidak melihat besarnya jumlah populasi,
namun lebih ditekankan kepada kriteria informan. Sehubungan
dengan itu, Bungin (2007) menyatakan perlu adanya informan kunci.
Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode
observasi lapangan, metode wawancara, metode eksploratif, metode
introspeksi dan metode
deskripsi. Penggunaan beberapa metode tersebut diharapkan dapat menjaring data
secara lengkap dan akurat. Di samping itu, data juga dikumpulkan dengan cara
mengambil gambar secara langsung dengan menggunakan kamera digital dan handycam agar
lebih jelas terlihat bedanya setiap entitas yang diperlakukan, alat yang
digunakan, cara memotongnya, frekuensi
memotong, posisi saat memotong dan hasil yang diinginkan.
Data dianalisis dengan mengikuti langkah-langkah sebagai
berikut: kualifikasi data, klasifikasi data, menganalisis struktur semantik
verba “memotong”, formulasi
verba “memotong”, melalui
pemetaan eksponen, dan subeksponen berdasarkan kategori leksiko-sintaksis,
motivasi prototypical, alat yang digunakan, cara memotong, hasil yang
diinginkan kemudian mengeksplikasi data tersebut dengan cara parafrase.
3.
Konsep
3.1 Verba “memotong”
Konsep
verba dalam kajian ini mengadopsi konsep verba menurut Alwi dkk, (2003).
Dikatakan bahwa verba merupakan unsur yang paling penting dalam kalimat karena
kebanyakan hal verba berpengaruh besar terhadap unsur-unsur lain yang harus dan
boleh ada dalam kalimat tersebut. Kemudian, ciri-ciri verba tersebut dapat
diketahui dengan mengamati perilaku semantis dan perilaku sintaktis.
Verba
dari segi perilaku semantisnya memiliki makna inheren perbuatan atau tindakan
yang terkandung di dalamnya. Verba “memotong” adalah sebuah verba yang mengandung
dua makna asali, yaitu MELAKUKAN dan TERJADI. Kedua makna asali tersebut
berpolisemi, tetapi keduanya tidak mempunyai hubungan komposisional karena
memiliki kerangka gramatikal yang berbeda, kecuali hubungan yang menyerupai
pengartian (entailment like relationship)
(Wierzbicka, 1996:28—29; Goddard, 1997:12—13).
3.2 Struktur semantik verba
Yang dimaksud dengan struktur semantik
verba dalam kajian ini adalah struktur semantik yang dihasilkan oleh verba. Struktur
semantik verba tersebut meliputi struktur polisemi, aloleksi, pilihan valensi,
dan struktur sintaksis.
4.
Landasan
Teori
Pisau
bedah yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori MSA. Teori MSA semula
diusulkan dan dikembangkan oleh Wierzbicka sejak (1972, 1980, 1991, 1992,1996)
dan kolega-koleganya lebih dari tiga dekade (Yoon, 2003). Metabahasa merupakan
teori semantik yang digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis objek
bahasa, dan objek bahasa yang dikaji adalah bahasa manusia (human language) (Allan, 2001). Teori MSA
merupakan sebuah telaahan semantik leksikal yang berasumsi bahwa pada suatu
bahasa terdapat seperangkat makna yang tidak dapat diuraikan lagi menjadi lebih
sederhana. Jadi, makna leksikal yang lebih sederhana itu disebut makna asali
(Yoon, 2003). Dalam kaitannya dengan makna asali, Goddard (1996) menjelaskan
bahwa makna asali adalah perangkat makna yang tidak dapat berubah karena
diwariskan sejak lahir, dan hasil refleksi dari pemikiran manusia yang mendasar.
MSA
merupakan sebuah teori yang mengaitkan linguistik dengan ilmu-ilmu lain di luar
linguistik di antaranya filsafat, antropologi dan psikologi. Beberapa bidang
ilmu tersebut telah direpesentasikan melalui makna asali.
Linguistik
dalam ilmu filsafat misalnya, memainkan peran yang sangat penting. Pentingnya
linguistik dalam ilmu filsafat terutama untuk mengekspresikan atau
mengaktualisasikan hasil perenungan filosofis seseorang. Fakta telah
menunjukkan bahwa ungkapan pikiran dan hasil-hasil perenungan filosofis
seseorang tidak dapat dilakukan tanpa bahasa. Tanpa bahasa, seseorang tidak
mungkin bisa mengungkapkan hasil-hasil perenungan kefilsafatannya kepada orang
lain (Hidayat, 2009:31). Segala sesuatu yang akan dilakukan harus didahului
dengan berpikir. Melalui berpikir kita dapat mengonstruksikan pengalaman atau
cara kita mengekspresikan atau mengklasifikasikan dunia nyata. Bagaimanapun
makna bahasa merupakan hasil konfigurasi pikiran manusia. Makna asali sebagai inti
dari teori MSA merupakan salah satu aspek yang mencerminkan hasil perenungan
tersebut. Melalui makna asali akan tergambar cara berpikir seseorang tentang
sesuatu yang ada dalam dunia nyata.
Linguistik
pula berperan penting dengan antropologi. Penggunaan linguistik melalui
parameter antropologi seperti benda-benda budaya, penamaan benda budaya, unsur
mitos dan metafora, dan tradisi masyaraskat. Beberapa parameter antropologi
tersebut dikodekan melalui bahasa. Bentuk pengkodeannya bisa terjadi melalui lexicalize, gramaticalize, textualize,
dan culturalize. Pengkodean
masing-masing budaya tentu mengalami perbedaan atau bervariasi. Perbedaan
pengkodean dapat dilihat pada tingkat kekayaan leksikon, gramatikal, teks, dan
budaya. Faktor penyebab terjadinya perbedaan tersebut terletak pada tatanan
cara kita mengekspresikan pengalaman kita tentang dunia nyata melalui bahasa.
Selain
itu, linguistik pula memiliki hubungan dengan psikologi. Bahasa dikaitkan
dengan parameter psikologi di antaranya motivasi, emosi (baik dan buruk), dan
pengendalian diri. Bahasa dalam konteks ini berperan penting dalam
mengekspresikan atau mengaktualisasikan motivasi, emosi dan pengendalian diri
seseorang. Hal ini tampak jelas dalam kaitannya dengan hasil yang diinginkan
seseorang dalam melakukan sesuatu. Keinginan seseorang untuk melakukan sesuatu
cenderung tidak sama dengan yang lainnya, misalnya dalam hal memotong. Di satu
sisi, seseorang ingin memotong sesuatu, ‘sesuatu yang buruk terjadi’, misalnya
kasar, agak besar, acak-acakan, dan bentuknya jelek. Di sisi lain, seseorang
ingin memotong sesuatu, ‘sesuatu yang baik terjadi’ misalnya halus. Fitur-fitur
pembeda tersebut terletak pada motivasi atau keinginan seseorang terhadap
sesuatu yang diperlakukan. Dengan demikian, makna asali merupakan objek kajian
yang sangat penting dalam aspek makna bahasa. Karena makna asali sebagai inti
untuk mengembangkan aspek makna bahasa yang lebih luas.
Selain
makna asali, ada pula beberapa konsep penting lain dalam teori MSA di antaranya
polisemi, aloleksi dan pilihan valensi dan sintaksis makna. Polisemi dalam teori
MSA merupakan bentuk leksikon tunggal untuk mengekspresikan dua makna asali
yang berbeda. Keduanya tidak ada hubungan komposisi (takkomposisi) karena
masing-masing mempunyai kerangka gramatikal yang berbeda. Polisemi juga sebagai
aspek utama dalam menghubungkan semantik dan sintaksis. Oleh karena itu,
polisemi dipandang sebagai salah satu aspek untuk menghubungkan leksikal dengan
sintaksis (leksiko-sintaksis), bentuk dan korespondensi makna. Bentuk
hubungannya, yaitu hubungan yang menyerupai pengartian (entailment like relationship). Misalnya, dalam bahasa Inggris,
verba cutting merupakan ekspresi dari
MELAKUKAN dan TERJADI. Polisemi
MELAKUKAN dan TERJADI mengacu pada relasi instrumen dari bentuk someone
X is doing something to something Y with something else Z for some time because
of this, something is happening at the same time to thing Y as this someone
wanted (Goddard, t.t).
Konsep
aloleksi juga merupakan aspek penting dalam teori MSA yaitu menjelaskan
beberapa bentuk kata yang berbeda untuk mengungkapkan suatu makna tunggal.
Misalnya I dan me, sebagai aloleksi posisional, someone dan person,
sebagai aloleksi kombinatorial, dan lain-lain sebagainya.
Aspek
valensi tidak kala penting dalam kajian MSA. Verba mengandung makna inhren
tindakan yang berkemampuan untuk mengikat dua atau lebih argumen. Verba dapat
bervalensi dua atau lebih argumen. Secara
semantis verba berperan sangat penting dalam mengontrol jumlah argumen yang
dibutuhkan oleh verba itu sendiri.
Dari aspek sintaksis verba dinilai sebagai struktur
makna yang sangat kompleks, yaitu terdiri atas komponen berstruktur: someone
is doing something to thing with thing for some time because of this, something is
happening at the same time to thing as this someone wanted.
Perilaku sintaksis tersebut berkaitan erat dengan makna dan sifat ketransitivan
verba. Hal inilah pola hubungan semantik leksikal dengan sintaksis atau disebut
leksiko-sintaksis. Makna asali, aloleksi, polisemi, pilihan valensi, dan makna sintaksis dalam teori MSA sangat relevan
diterapkan dalam Bahasa Manggarai.
Kemudian,
teori MSA juga mengkaji data (berupa
leksikon, atau kalimat) dari bahasa asali dengan tujuan untuk mengeksplikasi
semua data yang telah dikonstruksikan agar batasannya menjadi lebih jelas.
Semua data tersebut dieksplikasi dengan cara parafrase
untuk mereduksi makna menjadi seperangkat makna yang paling sederhana (Murphy,
2010). Lebih lanjut Yoon (2003) menjelaskan bahwa untuk
menghindari ketidakjelasan makna atau makna yang berputar-putar, dan kesewenangan
dalam memaknai bahasa, atau batasan suatu kata atau ujaran harus
direpresentasikan melalui MSA.
Pemilihan
teori MSA berdasarkan atas pertimbangan: (1) teori ini dirancang untuk
mengekplikasi semua makna, baik makna leksikal, makna gramatikal, maupun makna
ilokusi, (2) kondisi alami sebuah bahasa adalah mempertahankan satu bentuk
untuk satu makna dan satu makna untuk satu bentuk, (3) teori ini dapat
mengeksplikasi makna dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa
alami (Goddard dan Wierzbicka, 1994:22; Goddard dan Peeters dalam Benjamins,
2006:27).
Prinsip
dasar pendekatan MSA, selain mereduksi makna leksikon dengan cara parafrase
yang mempunyai kerangka eksplikasi secara sistematis dalam suatu parafrase yang
paling sederhana, tetapi MSA juga mengandung konsep makna asali yaitu makna
leksikon yang tidak dapat diparafrasekan lagi menjadi lebih sederhana. Pemetaan eksponen dan eksplikasi melalui parafrase tersebut
perlu dilakukan agar terhindar dari ketidakjelasan makna dan makna yang
berputar-putar serta kesewenangan menggunakan bahasa (Yoon, 2003).
Mekanisme
kerja teori MSA yaitu menganalisis makna leksikon dengan metode pemetaan
eksponen dan eksplikasi melalui parafrase. Pemetaan eksponen, subkomponen serta
eksplikasi makna tersebut meliputi entitas yang dikenai perlakuan, alat yang
digunakan, kekhasan gerakan, hasil yang diharapkan. Melalui metode eksplikasi
tersebut dapat membedakan fitur-fitur semantik dari setiap leksikon.
Untuk
menentukan fitur distingtif dari setiap leksikon tergantung pada penggunaan beberapa
aspek berikut: (1) seseorang X terdiri atas: anak-anak, orang dewasa, ibu,
bapak, nenek, kakek, dan (2) motivasi seseorang X melakukan sesuatu atas dasar
ketulusan, benci, marah, dendam, (3) sesuatu Y dapat berupa manusia, hewan, pohon,
rumput, daun, buah, tali, kain, dan sayur-sayuran, (4) sesuatu Z dapat berupa
pisau, parang kecil, parang besar, parang tajam, parang tumpul, kapak, sabit, dan
ekor ikan, sekop, silet, peketo ‘alat
memotong padi ladang’, bambu iris (lampek),
gunting, dan tangan (5) cara menggunakan alat misalnya, menyentuh, tanpa
menyentuh, gerak lurus, gerak miring, hanya sekali atau dua kali atau
berulang-ulang, (6) hasil yang diinginkan berupa potongan agak halus, kasar,
kecil-kecil, besar-besar, pendek-pendek, panjang-panjang, rata, tajam,
terpisah, tidak terpisah, satu bagian, dua bagian, beberapa bagian, sedikit,
banyak. Keenam hal di atas merupakan fitur-fitur semantik yang dimiliki secara
inheren oleh setiap leksikon walaupun masih dalam medan makna yang sama. Untuk
eksplikasi tersebut, Goddard (t.t) mengklasifikasikan dalam beberapa bagian
yaitu lexico-syntactic frame, prototypical motivational scenario, instrument, dan using the instrument, serta what
happening to the object.
Data
menunjukkan bahwa verba “memotong” dalam BM Subdialek Kempo diklasifikasikan atas
beberapa bagian, yaitu (1) memotong pada
manusia dengan realisasi leksikal sebagai berikut: longke, poro, dan kuir, (2)
memotong pada hewan dengan realisasi leksikal sebagai berikut: mbele,
paki, lecap, ndota, ca’e, dawo, ciang, ropo, kuntir, ndola, ciang, saser, tu’i,
carik, kurit, duti, leak, rebut, (3) memotong pohon dengan realisasi
leksikal sebagai berikut: poka, keto,
campi, wancing, we’ang, rucik, coco, cicik, nggi’it, cikat, weset, wigak,
wi’ak, wikak, cingke, kiru, kuir, panco, ri’ok, oro, cecak, tesi, dunca, doca,
cangkol, retep, wincil, lea, wi’il, susir, kepu, tega, ngeteng, lempa, pante, (4)
memotong rumput dengan realisasi leksikal verba sebagai berikut: ako, arep, peketo, babar, sasap, sangko, batir,
kebut, (5) memotong daun dengan realisasi leksikal verba sebagai berikut ciak, sarit, lata, koer, rekut, rekut, kiru, kocok, rekok, rikok, (6)
memotong buah dengan realisasi leksikal verba sebagai berikut: pu’a, lesep, kasi, pu’ik, kengket, ro’e, wegek, giok, cuat, roke, cepuk, cucik,
lasar, wetok, ciel, wegak, liser, kilu, rongket, pangkang, kikir, (7)
memotong tali dengan realisasi leksikal verba sebagai berikut: wingke, wicok, wete, keti, kocel, rais,
kere, kandit, dan (8) memotong kain dengan realisasi leksikal verba sebagai
berikut: wirot, rotas, kerek, gunting.
Realisasi leksikal verba “memotong”
pada manusia di antaranya longke, poro dan kuntir. Leksikon longke,
poro dan kuntir merupakan verba
yang mengandung makna inheren perbuatan atau tindakan. Verba tindakan tersebut berkemampuan
untuk mengikat dua argumen yaitu siapa
yang melakukan, dan kepada siapa dia
melakukannya.
Contoh penggunaan verba longke dalam kalimat:
(1)
Hia laing
longke wuk-n na
‘Dia sedang pangkas rambut-3T Part’
(Dia sedang memangkas rambutnya)
Verba longke terdiri atas tiga slot substantif, yaitu slot subjek, slot
objek, dan slot komplemen. Misalnya (1) someone
(hia), (2) did something (wuk),
(3) to someone ( ase-n). Meskipun verba longke terdiri atas tiga slot
substantif, namun pilihan valensinya terdiri atas dua, yaitu (A) someone did something (hia longke wuk) dan (B) someone did something to someone (Ame longke wuk de ase-n).
Secara semantis valensi verba longke dalam kalimat di atas terdiri
atas dua argumen, yaitu hia sebagai
argumen agen dan wuk de ase-n sebagai
pasien. Pemarkahan enklitik–n pada
Nomina ase mengacu kepada pronomina
persona diri ketiga tunggal hia.
Verba longke bisa diletakan pada awal
kalimat untuk menyatakan suruhan kepada orang lain misalnya: Longke ge wuk diha ho’o lau ra! (Kau pangkas rambutnya dia ini!). Kemudian
untuk merespons pertanyaan siapa yang melakukan adalah pronomina persona ketiga
tunggal liha. Misalnya Liha ata longke wuk de ase-n meseng (Dia
yang memangkas rambut adiknya kemarin). Ketiga
bentuk hia, diha, dan liha merupakan sebuah aloleksi
posisional. Dikatakan demikian karena distribusi bentuk alternasinya tergantung
posisi misalnya hia, liha berposisi
sebelum verba (pre-verbally) dan diha posisi ditempat lain. Kalimat suruhan
di atas secara makna dinilai agak kasar. Untuk mengetahui kasar atau tidaknya
kalimat tersebut tergantung pada penggunaan pronomina persona tunggal misalnya lau ‘kau’ dan lite ‘Anda’.
Perbedaannya, lau digunakan untuk
menyapa orang lain dengan kasar, sedangkan lite
digunakan untuk menyapa orang lain dengan halus.
Begitu pula pronomina persona
tunggal hau, gau dan lau merupakan sebuah aloleksi
posisional. Gau merupakan bentuk
posesif dari hau sedangkan lau untuk merespons pertanyaan siapa
yang melakukannya. Ketiga bentuk tersebut memiliki kesamaan makna ‘kau’ namun
perbedaannya terletak pada distribusi bentuk alternasi.
Secara semantis verba longke berkolokasi dengan wulu ‘buluh’ sekitar seluruh bagian tubuh mansuia. Dikatakan demikian karena
setelah verba longke tidak dapat
disubsitusikan dengan Nomina lain selain wuk
atau wulu Perhatikan bentuk kolokasi verba longke berikut ini.
longke
wuk ‘gunting
rambut’, longke wulu kipi ‘gunting
kumis’, longke wulu janggok ‘gunting
janggut’, longke wulu papar ‘gunting
kecambang’, longke wulu mata ‘gunting
bulu mata’, longke wulu lele ‘gunting
bulu ketiak’, longke wulu roweng
‘gunting bulu dada’, longke wulu wai
‘gunting bulu kaki’.
Leksikon longke dimaknai “memangkas bagian rambut menjadi beberapa bagian”
memerlukan alat berupa gunting/pisau tajam, dengan cara menggerakan tangan dari
arah belakang ke depan atau sebaliknya terarah pada entitas yang diperlakukan. Pemetaan
eksponennya sebagai berikut. “Seseorang X longke
Y dengan menggunakan gunting atau pisau tajam Z dengan gerak dari belakang
ke depan atau sebaliknya terarah langsung dengan hasil berupa entitas berbentuk
potongan pendek-pendek”, Y menjadi beberapa potongan yang terpisah. Dengan
subeksponennya: “X longke Y”, “sesuatu yang
baik terjadi”. Eksponen dan subeksponen
dari verba longke dapat dieksplikasi
melalui parafrase berikut ini.
Pada waktu itu,
X melakukan sesuatu pada Y
Karena ini, pada waktu yang bersamaan terjadi
sesuatu pada Y
X
melakukan sesuatu dengan cara tertentu (dari belakang ke depan atau sebaliknya miring/lurus, terarah,
secara berulang-ulang, dan langsung)
X melakukan sesuatu dengan alat tertentu
(gunting/pisau tajam)
Y menjadi beberapa potong yang terpisah.
X menginginkan ini
X melakukan sesuatu seperti ini
Pemetaan leksikon longke tersebut dapat dieksplikasi aspek
leksiko-sintaksis, motivasi prototypical, instrumen, cara menggunakan dan hasil
yang diharapkan berikut ini.
a.
Lexico-syntactic frame
seseorang X longke sesuatu Y dengan menggunakan sesuatu Z karena ini, sesuatu
terjadi pada Y sesuai yang diinginkan
b.
Prototypical
motivational scenario
seseorang
longke sesuatu seperti ini dengan gerak miring/lurus dari belakang ke
depan, terarah pada entitas secara berulang-ulang karena seseorang menginginkan
ini:
seseorang memikirkan seperti ini:
“seseorang menginginkan ini menjadi sesuatu yang
lebih baik,
seseorang menginginkan ini menjadi bagian yang terpisahkan.
karena ini, seseorang ingin melakukan sesuatu pada
sesuatu
pada waktu yang bersamaan, seseorang ingin terjadi
sesuatu sesuai yang diinginkan”
c.
Instrument
pada saat itu, seseorang ingin sesuatu seperti ini,
seseorang longke sesuatu dengan menggunakan sesuatu, sesuatu
bukan bagian dari tubuh seseorang
sesuatu bagian dari gunting, pisau tajam,
pada saat seseorang melakukan sesuatu seperti ini
dengan menggunakan sesuatu, seseorang tanpa memegang bagian dari sesuatu.
d.
Using
the instrument
pada saat seseorang ingin melakukan sesuatu seperti
ini dengan menggunakan sesuatu,
bagian
gunting/pisau tajam langsung menyentuh atau tearah pada sesuatu
pada saat itu, tangan seseorang bergerak sesuai yang
dinginkan
karena ini, pada waktu yang bersamaan bagian
gunting/pisatu tajam langsung menyentuh bagian sesuatu
e.
What
is happening to the object
karena ini, sesuatu terjadi pada sesuatu sesuai yang
diinginkan
karena ini, sesuatu tidak seperti ini sebelumnya
Contoh
penggunaan verba poro dalam kalimat:
(2)
Ame laing
poro putes de
mantar-n
‘Ayah sedang potong tali pusat Part anak-3T’
(Ayah sedang
memotong plasenta anaknya)
Verba poro terdiri atas tiga slot substantif, yaitu slot subjek, slot
objek, dan slot komplemen. Misalnya (1) someone
(ame), (2) did something (putes), (3) to someone (mantar-n). Meskipun verba poro terdiri atas tiga slot substantif,
namun pilihan valensinya terdiri atas dua, yaitu (A) someone did something (Ame
poro putes) dan (B) someone did
something to someone (Ame poro putes
de mantar-n).
Valensi verba poro dalam kalimat di atas berkemampuan untuk mengikat dua argumen,
yaitu ame sebagai argumen agen dan putes de mantar-n sebagai argumen pasien. Ame merupakan bentuk aloleksi kombinatorial dengan ata tua, kraeng tua, dan mantar
merupakan bentuk aloleksi kombinatorial dengan anak waong, anak werek, anak koe. Pemarkahan enklitik–n pada Nomina mantar mengacu pada pronomina persona tunggal ame.
Secara semantis verba poro berkolokasi makna dengan Nomina putes. Dikatakan demikian karena verba poro tidak dapat disubstitusikan dengan
Nomina lain sebagai bentuk distribusi alternasinya selain Nomina putes. Misalnya poro putes. Poro putes bagi anak yang baru lahir merupakan tradisi
masyarakat Manggarai yang menggunakan alat berupa lampek ‘bambu yang diiris tajam’. Tradisi ini dilakukan terutama
bagi anak yang lahir di rumah selain di rumah sakit.
Verba
poro “memotong pada bagian tali pusat
atau plasenta” memerlukan alat berupa bambu iris (lampek) dengan gerak terarah dari belakang ke depan lurus secara
berulang-ulang langsung pada Y. Pemetaan eksponennya: ‘Seseorang X poro sesuatu Y menggunakan alat berupa lampek Z dengan gerak terarah dari
belakang ke depan secara berulang-ulang, dan langsung dengan hasil berupa
entitas yang berbentuk potongan agak pendek yang terpisah, Y menjadi dua
bagian.’ Dengan subeksponennya sebagai berikut. ‘X poro Y’ ‘sesuatu yang baik terjadi’
Bentuk
eksplikasinya sebagai berikut:
Pada waktu itu, X melakukan sesuatu pada Y
Karena ini, pada waktu yang bersamaan terjadi
sesuatu pada Y
X melakukan sesuatu dengan cara
tertentu (terarah, dari belakang ke depan, berulang-ulang, dan langsung)
X melakukan sesuatu dengan alat tertentu
(bambu iris yang tajam)
Y menjadi dua bagian
X menginginkan ini
X melakukan sesuatu seperti ini
Pemetaan leksikon poro tersebut dapat dieksplikasi aspek leksiko-sintaksis,
motivasi prototypical, instrumen, cara menggunakan dan hasil yang diharapkan
berikut ini.
a.
Lexico-syntactic
frame
seseorang X melakukan poro sesuatu Y dengan menggunakan sesuatu Z karena ini, sesuatu
terjadi pada Y sesuai yang diinginkan
b.
Prototypical
motivational scenario
seseorang melakukan
poro sesuatu seperti ini dengan gerak
lurus dari belakang ke depan, terarah pada entitas secara berulang-ulang karena
seseorang menginginkan ini:
Seseorang memikirkan seperti ini:
“seseorang
menginginkan ini menjadi sesuatu yang lebih baik, seseorang menginginkan ini
menjadi bagian yang terpisahkan.
Karena ini, seseorang ingin melakukan sesuatu pada
sesuatu
Pada waktu yang bersamaan, seseorang ingin terjadi
sesuatu sesuai yang diinginkan”
c. Instrument
pada saat itu, seseorang ingin sesuatu seperti ini,
seseorang melakukan poro sesuatu dengan menggunakan sesuatu,
sesuatu bukan
bagian dari tubuh seseorang
sesuatu bagian
dari bambu iris tajam (lampek),
pada saat seseorang melakukan sesuatu seperti ini
dengan menggunakan sesuatu,
d. Using the instrument
pada saat seseorang ingin melakukan sesuatu seperti
ini dengan menggunakan sesuatu,
bagian bambu iris
tajam (lampek) langsung menyentuh
atau tearah pada sesuatu
pada saat itu, tangan seseorang bergerak sesuai yang
dinginkan
karena ini, pada waktu yang bersamaan bagian
bambu iris langsung menyentuh bagian sesuatu
sesuatu yang lain terjadi sesuai yang diinginkan
e. What is happening to the object
karena ini, sesuatu terjadi pada sesuatu sesuai yang
diinginkan
karena ini, sesuatu tidak seperti ini sebelumnya
Contoh
penggunaan verba kuntir dalam
kalimat:
(3)
Inwai hitu kuntir wuku wai-n
rebao
‘Perempuan itu potong kuku kaki-3T tadi’
(Perempuan itu tadi memotong kukunya)
Pilihan
valensi verba kuntir terdiri atas
dua, yaitu (1) someone did something
(Inwai hitu kuntir wuku) dan (2) someone did something to someone (Inwai hitu kuntir wuku wai de ase-n).
Valensi verba longke terdiri atas dua argumen, yaitu inwai sebagai argumen agen, dan wuku sebagai argumen pasien. Pemarkah
enklitik –n pada Nomina ase mengacu pada pronomina persona inwai. Pronomina persona inwai memiliki bentuk aloleksi
kobinatorial dengan ata wina, inuk, ata
molas. Dikatakan demikian karena pronomina persona inwai dapat disubstitusikan dengan beberapa bentuk tersebut. Bentuk
Ata wina, inuk, ata molas mengandung
makna ‘perempuan muda’.Misalnya: (1) Ata
wina hitu laing kuntir wuku wai de ase-n, (2) Ata molas hitu laing kuntir wuku wai de ase-n, (3) Inuk hitu laing kuntir wuku wai de ase-n.
Secara
semantis, verba kuntir berkolokasi
dengan wuku ‘kuku’. Penggunaan verba kuntir hanya dilakukan pada manusia,
bukan hewan. Keterbatasan penggunaan leksikon tersebut mungkin disebabkan
karena masyarakatnya tidak memiliki tradisi memotong kuku hewan. Ikhwal ini
dapat dilihat pada deskripsi berikut: (1) Kuntir
wuku wai ‘memotong kuku kaki’, (2) Kuntir
wuku lime ‘memotong kuku tangan’.
Verba
kuntir ‘memotong’ pada bagian kuku
(tangan ataupun kaki) memerlukan alat berupa silet atau penggunting kuku dengan
gerak terarah dari belakang ke depan atau sebaliknya lurus secara berulang-ulang
langsung pada Y. Pemetaan eksponennya: ‘Seseorang X kuntir sesuatu Y menggunakan alat berupa penggunting kuku atau
silet dengan gerak memotong terarah secara berulang-ulang dari belakang ke
depan atau sebaliknya berulang-ulang dan langsung. Y menjadi beberapa potongan
kecil. Subeksponen dari verba kuntir tersebut
adalah sebagai berikut. ‘X kuntir Y’ ‘sesuatu yang baik terjadi.
Bentuk eksplikasinya adalah
Pada waktu itu,
X melakukan sesuatu pada Y
Karena ini, pada
waktu yang bersamaan terjadi sesuatu pada Y
X melakukan sesuatu dengan cara tertentu
(terarah, dari belakang ke depan, atau
sebaliknya berulang-ulang, dan langsung)
X melakukan sesuatu dengan alat tertentu
(silet atau penggunting kuku)
Y menjadi beberapa bagian
X menginginkan ini
X melakukan sesuatu seperti ini
Pemetaan leksikon kuntir tersebut dapat dieksplikasi aspek
leksiko-sintaksis, motivasi prototypical, instrumen, cara menggunakan dan hasil
yang diharapkan berikut ini.
a.
Lexico-syntactic
frame
seseorang X melakukan kuntir sesuatu Y dengan menggunakan
sesuatu Z karena ini, sesuatu terjadi pada Y sesuai yang diinginkan
b.
Prototypical
motivational scenario
seseorang melakukan
kuntir sesuatu seperti ini dengan
gerak lurus dari belakang ke depan atau sebaliknya terarah pada entitas secara
berulang-ulang karena seseorang menginginkan ini:
Seseorang memikirkan seperti ini:
“seseorang
menginginkan ini menjadi sesuatu yang lebih
baik, seseorang menginginkan ini menjadi bagian yang terpisahkan.
Karena ini, seseorang ingin melakukan sesuatu pada
sesuatu
c. Instrument
pada saat itu,
seseorang ingin sesuatu seperti ini, seseorang melakukan kuntir sesuatu dengan menggunakan sesuatu, sesuatu bukan bagian
dari tubuh seseorang
sesuatu bagian
dari silet atau penggunting kuku
pada saat seseorang melakukan sesuatu seperti ini
dengan menggunakan sesuatu
d. Using the instrument
pada saat seseorang ingin melakukan sesuatu seperti
ini dengan menggunakan sesuatu,
bagian silet
atau penggunting kuku langsung menyentuh atau tearah pada sesuatu
pada saat itu, tangan seseorang bergerak sesuai yang
dinginkan
karena ini, pada
waktu yang bersamaan bagian silet atau
penggunting kuku langsung menyentuh bagian sesuatu
e. What is happening to the object
karena ini, sesuatu terjadi pada sesuatu sesuai yang
diinginkan
karena ini, sesuatu tidak seperti ini sebelumnya
Fitur distingtif memotong pada manusia
longke, poro,dan kuntir
Leksikon
|
Entitas
|
||
rambut
|
kuku
|
plasenta
|
|
longke
|
+
|
-
|
-
|
poro
|
-
|
-
|
+
|
kuntir
|
-
|
+
|
-
|
5.
Simpulan
Makalah ini hanya mengangkat
sebagian data untuk dianalisis menggunakan pendekatan semantik, dengan aplikasi
teori Metabahasa Semantik Alami (MSA). Teori ini mengkaji bahasa dari aspek
filsafat, psikologi, dan budaya. Ketiga aspek tersebut telah menjadi
satu-kesatuan dalam bahasa alami.
Realisasi leksikal verba “memotong”
dalam bahasa Manggarai memiliki keunikan tersendiri, baik dalam memotong pada
manusia, hewan, pohon, rumput, buah, daun, tali dan kain. Leksikon-leksikon
yang merupakan hiponimi dari verba “memotong” memiliki satu bentuk untuk satu
makna dan satu makna untuk satu bentuk sesuai dengan postulat ilmu semantik.
Struktur semantik verba “memotong”
dianalisis leksiko-sintaksis, motivasi prototipikal skenario, alat yang
digunakan, cara menggunakan alat, hasil yang diinginkan oleh seseorang. Analisis leksikon dengan cara tersebut dimaksudkan
agar menghindari makna leksikon yang berputar-putar atau meminimalisir
sirkularitas makna atau memberikan batasan makna leksikon yang tuntas dan
jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Allan, K. 2001. Natural Language Semantics: Oxford:
Blackwell.
Alwi, H. Dardjowidjojo, S. Lapoliwa, H.
Moeliono, A. M. 2003. Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia.Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Benjamins, B.V John. 2006. Semantic Primes and Universal Grammer:
Empirical Evidence from The Romance Languages. The Netherlands: P.O. Box 36224.
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan public dan Ilmu
Sosial Lainnya.Jakarta: Kencana.
Frawley,
W.1992. Linguistic Semantics. New
Jersey: Lawrence Erlbaum.
Givon, Talmy. 1984. Syntax: A
Funtion Typology Introduction. Vol.1 Amsterdam/Phildelpia: Jhon Benyamins.
Goddard, C. Wierzbicka, A.1994. Semantic and lexical Universals. Studies
In language Companion Series 25.
Australia: University of New England.
Goddard, C. 1996. Semantic Theory and Semantic Universal. Cross Linguistic Syntax
from Semantic Point of View (NSM Aproach) 1—5 Australia.
Goddard, C. 1997. Semantic Analysis:A Practical Introduction. Australia: University
of New England.
Goddard, C.
2002. Dynamic ter- in Malay. A Study in Grammatical polysemy. Study in
Language. NSW: The University of New England. (serial online) [cited 2011 Sep.10].
Goddard, C. (t.t). Semantic Primes, Semantic Molecules, Semantic
Templates: Key concepts in the NSM approach to lexical typology. (serial
online) [cited 2011 Sep. 4]. Available from: University of New England: http/www.susanne.vejdemo.se/Typology/
GoddardSemantic
Typology.pdf.
Hidayat, A. A.
2009. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda.Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Leech, G. 2003. Semantik. (Paina Partana, Pentj).Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Murphy,
M. L. 2010. Lexical Meaning.
Cambridge Textbooks in Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Wierzbicka, A. 1996. Semantics:
Primes and Universals.New York: Oxford University Press.
Yoon, Kyung-Joo. 2003. Korean
maum vs. English heart and mind: Contrastive Semantics of Cultural Concepts. (serial online) [cited 2010 Okt.11].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar