Senin, 30 Januari 2012

TIPOLOGI LEKSIKAL VERBA "MEMOTONG" DALAM BAHASA MANGGARAI: A NATURAL SEMANTIC METALANGUAGE (NSM)

                                                                       Oleh:
                                                        VINSENSIUS GANDE
(Makalah yang diseminarkan pada SEMINAR NASIONAL dalam rangka HARI BAHASA IBU INTERNASIONAL diselenggarakan oleh Universitas Udayana, 17 Februari 2012)

I.    Pendahuluan
Secara filosofis bahwa setiap bahasa memiliki bentuk, fungsi, dan makna. Aspek kajian linguistik yang berupa bentuk, fungsi dan makna tersebut cukup menarik terutama pada fitur-fitur semantik yang dimiliki secara inheren oleh leksikon sehingga dapat membedakan leksikon yang satu dengan yang lainnya meskipun dalam satu komponen makna.
Berbicara tentang bentuk, fungsi, dan makna merupakan suatu kajian yang holistik dalam sebuah bahasa. Hal ini dinyatakan secara tegas oleh Wierzbicka (1996) bahwa mempelajari bentuk atau struktur bahasa tanpa memperhatikan aspek makna ibarat mempelajari rambu lalu lintas dilihat dari ciri-ciri fisik saja. Sebab bahasa itu sendiri merupakan suatu wahana pengungkap makna. Kemudian dipertegas oleh Frawley (1992) bahwa makna bahasa merupakan suatu kerangka konseptual yang menggambarkan kategorisasi dalam dunia, sehingga aspek bentuk, fungsi, dan makna bahasa tersebut dapat dilihat sebagai wahana yang berisi representasi mental penutur bahasa tersebut. Melihat pentingnya ketiga aspek bahasa tersebut, maka perlu diberikan perhatian dalam disiplin ilmu linguistik.
Ruang lingkup kajian penelitian ini adalah linguistik mikro khususnya bidang semantik. Semantik merupakan aspek sentral dalam kajian mengenai pikiran atau konseptualisasi, koginisi yang keseluruhannya tidak dapat dipisahkan dari cara kita mengklasifikasikan dan merepresentasikan pengalaman tentang dunia melalui bahasa.
Seperti yang diungkapkan Leech (2003) bahwa semantik tidak hanya mengkaji masalah pokok dalam komunikasi di dalam organisasi sosial, dan pusat studi pikiran manusia yaitu proses berpikir, kognisi, konseptualisasi yang saling mengait dengan cara kita mengklasifikasikan dan mengemukakan pengalaman kita tentang dunia nyata melalui bahasa, tetapi semantik pula sebagai titik pertemuan berbagai persilangan arus berpikir dari berbagai disiplin ilmu, misalnya linguistik, filsafat, dan psikologi.Dalam hal ini, teori semantik tidak hanya bermanfaat bagi bahasa manusia yang alami, tetapi juga untuk kognisi manusia karena ada suatu asumsi bahwa makna bahasa merupakan refleksi pikiran manusia (Allan, 2001). Hal tersebut mengisyaratkan bahwa ranah kajian semantik sangat kompleks.
Kompleksitas aspek kajian semantik dapat terlihat jelas pada aspek kajian makna asali (semantik alami). Melalui kajian makna asali suatu bahasa dengan mudah melihat hubungan bahasa dengan aspek realitas objektif atau dunia di luar bahasa seperti filsafat dan psikologi. Hal ini tampak jelas terlihat pada makna asali suatu leksikon, frasa, dan kalimat yang digunakan oleh penutur bahasa BM.
Melihat pentingnya aspek makna dalam kajian linguistik maka peneliti mengangkat  unsur makna asali (semantik alami) verba “memotong” dalam BM sebagai objek kajian ini. Pemilihan verba didasari oleh suatu pemikiran filosofis bahwa verba yang paling berpengaruh terhadap kehadiran unsur-unsur lain dalam kalimat. Unsur-unsur lain yang dimaksudkan di antaranya unsur argumen. Jumlah argumen dalam suatu kalimat tergantung pada verba. Seperti yang diungkapkan oleh Alwi dkk, (2003) bahwa verba merupakan unsur yang paling penting dalam kalimat karena kebanyakan hal verba berpengaruh besar terhadap unsur-unsur lain yang harus dan boleh ada dalam kalimat.
Penelitian terhadap verba memotong dalam BM menjadi objek yang menarik dalam kajian semantik. Pentingnya tindakan memotong bagi masyarakat Manggarai tidak hanya dalam acara adat, membuka ladang pertanian, aktivitas sehari-hari, tetapi juga dalam mengiris tuak dari pohon enau. Di samping itu, verba memotong memiliki aktivitas fisik yang kompleks (complex physical activities) yang mencakupi motivasi prototypical, entitas yang diperlakukan, alat yang digunakan, cara memotong, dan hasil yang diinginkan. Untuk diketahui, bahwa verba “memotong” tersebut memiliki fitur semantik khusus yang disebut subtle difference (Goddard, 2002) yang melekat pada beberapa leksikon. Leksikon-leksikon tersebut telah membentuk konfigurasi makna pembeda antara leksikon satu dengan yang lainnya terutama leksikon yang berada dalam medan makna yang sama. Fitur-fitur pembeda dari setiap leksikal tersebut dapat dieksplikasi melalui teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) yang dipelopori oleh Anna Wierzbicka dan kolega-koleganya. Melalui metode eksplikasinya, fitur-fitur pembeda masing-masing leksikon dapat dijelaskan secara tuntas.
Masalah pokok yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah realisasi leksikal verba “memotong”, struktur semantik verba memotong”, dan fitur-fitur pembeda struktur semantik verba memotong dalam BM. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang komprehensif mengenai realisasi leksikal verba memotong, dan struktur semantik verba memotong serta fitur-fitur pembeda struktur semantik verba memotong BM. Realisasi leksikal yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah bentuk-bentuk leksikon dari verba memotong”.
Secara teoretis, manfaatnya sebagai dasar analisis lingual khususnya dalam menganalisis struktur semantik verba, menambah khazanah pengetahuan semantik terutama makna asali dari verbamemotong dalam BM, dan mengangkat unsur-unsur semantik leksikal khususnya unsur  makna asali, polisemi, pilihan valensi, aloleksi, dan leksiko-sintaksis. Manfaat praktis adalah sebagai dasar pertimbangan dalam berkomunikasi sehari-hari bagi penutur BM dan untuk mengangkat nilai atau derajat dan harga diri BM sebagai salah satu bahasa yang ada di Nusantara ini.

2. Metode Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian kualitatif. Rancangan tersebut dilakukan dengan cara peneliti bertindak sebagai instrumen utama dengan tujuan untuk menguraikan dan menjelaskan karakteristik data yang sebenarnya dan mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi karakteristik data yang diperoleh di lapangan.
Jenis data penelitian ini adalah data primer. Data primer terdiri atas data verbal dan data nonverbal. Sumber data adalah penutur BM-SK yang dipilih secara purposive sampling, yaitu metode yang tidak melihat besarnya jumlah populasi, namun lebih ditekankan kepada kriteria informan. Sehubungan dengan itu, Bungin (2007) menyatakan perlu adanya informan kunci.
Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi lapangan, metode wawancara, metode eksploratif, metode introspeksi dan metode deskripsi. Penggunaan beberapa metode tersebut diharapkan dapat menjaring data secara lengkap dan akurat. Di samping itu, data juga dikumpulkan dengan cara mengambil gambar secara langsung dengan menggunakan kamera digital dan handycam agar lebih jelas terlihat bedanya setiap entitas yang diperlakukan, alat yang digunakan, cara memotongnya,  frekuensi memotong, posisi saat memotong dan hasil yang diinginkan.
Data dianalisis dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: kualifikasi data, klasifikasi data, menganalisis struktur semantik verba “memotong”, formulasi verba “memotong”, melalui pemetaan eksponen, dan subeksponen berdasarkan kategori leksiko-sintaksis, motivasi prototypical, alat yang digunakan, cara memotong, hasil yang diinginkan kemudian mengeksplikasi data tersebut dengan cara parafrase.

3.                  Konsep
3.1 Verba “memotong”
Konsep verba dalam kajian ini mengadopsi konsep verba menurut Alwi dkk, (2003). Dikatakan bahwa verba merupakan unsur yang paling penting dalam kalimat karena kebanyakan hal verba berpengaruh besar terhadap unsur-unsur lain yang harus dan boleh ada dalam kalimat tersebut. Kemudian, ciri-ciri verba tersebut dapat diketahui dengan mengamati perilaku semantis dan perilaku sintaktis.
Verba dari segi perilaku semantisnya memiliki makna inheren perbuatan atau tindakan yang terkandung di dalamnya. Verba memotong adalah sebuah verba yang mengandung dua makna asali, yaitu MELAKUKAN dan TERJADI. Kedua makna asali tersebut berpolisemi, tetapi keduanya tidak mempunyai hubungan komposisional karena memiliki kerangka gramatikal yang berbeda, kecuali hubungan yang menyerupai pengartian (entailment like relationship) (Wierzbicka, 1996:28—29; Goddard, 1997:12—13).

3.2 Struktur semantik verba
      Yang dimaksud dengan struktur semantik verba dalam kajian ini adalah struktur semantik yang dihasilkan oleh verba. Struktur semantik verba tersebut meliputi struktur polisemi, aloleksi, pilihan valensi, dan struktur sintaksis.

4.                  Landasan Teori
Pisau bedah yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori MSA. Teori MSA semula diusulkan dan dikembangkan oleh Wierzbicka sejak (1972, 1980, 1991, 1992,1996) dan kolega-koleganya lebih dari tiga dekade (Yoon, 2003). Metabahasa merupakan teori semantik yang digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis objek bahasa, dan objek bahasa yang dikaji adalah bahasa manusia (human language) (Allan, 2001). Teori MSA merupakan sebuah telaahan semantik leksikal yang berasumsi bahwa pada suatu bahasa terdapat seperangkat makna yang tidak dapat diuraikan lagi menjadi lebih sederhana. Jadi, makna leksikal yang lebih sederhana itu disebut makna asali (Yoon, 2003). Dalam kaitannya dengan makna asali, Goddard (1996) menjelaskan bahwa makna asali adalah perangkat makna yang tidak dapat berubah karena diwariskan sejak lahir, dan hasil refleksi dari pemikiran manusia yang mendasar.
MSA merupakan sebuah teori yang mengaitkan linguistik dengan ilmu-ilmu lain di luar linguistik di antaranya filsafat, antropologi dan psikologi. Beberapa bidang ilmu tersebut telah direpesentasikan melalui makna asali.
Linguistik dalam ilmu filsafat misalnya, memainkan peran yang sangat penting. Pentingnya linguistik dalam ilmu filsafat terutama untuk mengekspresikan atau mengaktualisasikan hasil perenungan filosofis seseorang. Fakta telah menunjukkan bahwa ungkapan pikiran dan hasil-hasil perenungan filosofis seseorang tidak dapat dilakukan tanpa bahasa. Tanpa bahasa, seseorang tidak mungkin bisa mengungkapkan hasil-hasil perenungan kefilsafatannya kepada orang lain (Hidayat, 2009:31). Segala sesuatu yang akan dilakukan harus didahului dengan berpikir. Melalui berpikir kita dapat mengonstruksikan pengalaman atau cara kita mengekspresikan atau mengklasifikasikan dunia nyata. Bagaimanapun makna bahasa merupakan hasil konfigurasi pikiran manusia. Makna asali sebagai inti dari teori MSA merupakan salah satu aspek yang mencerminkan hasil perenungan tersebut. Melalui makna asali akan tergambar cara berpikir seseorang tentang sesuatu yang ada dalam dunia nyata.
Linguistik pula berperan penting dengan antropologi. Penggunaan linguistik melalui parameter antropologi seperti benda-benda budaya, penamaan benda budaya, unsur mitos dan metafora, dan tradisi masyaraskat. Beberapa parameter antropologi tersebut dikodekan melalui bahasa. Bentuk pengkodeannya bisa terjadi melalui lexicalize, gramaticalize, textualize, dan culturalize. Pengkodean masing-masing budaya tentu mengalami perbedaan atau bervariasi. Perbedaan pengkodean dapat dilihat pada tingkat kekayaan leksikon, gramatikal, teks, dan budaya. Faktor penyebab terjadinya perbedaan tersebut terletak pada tatanan cara kita mengekspresikan pengalaman kita tentang dunia nyata melalui bahasa.
Selain itu, linguistik pula memiliki hubungan dengan psikologi. Bahasa dikaitkan dengan parameter psikologi di antaranya motivasi, emosi (baik dan buruk), dan pengendalian diri. Bahasa dalam konteks ini berperan penting dalam mengekspresikan atau mengaktualisasikan motivasi, emosi dan pengendalian diri seseorang. Hal ini tampak jelas dalam kaitannya dengan hasil yang diinginkan seseorang dalam melakukan sesuatu. Keinginan seseorang untuk melakukan sesuatu cenderung tidak sama dengan yang lainnya, misalnya dalam hal memotong. Di satu sisi, seseorang ingin memotong sesuatu, ‘sesuatu yang buruk terjadi’, misalnya kasar, agak besar, acak-acakan, dan bentuknya jelek. Di sisi lain, seseorang ingin memotong sesuatu, ‘sesuatu yang baik terjadi’ misalnya halus. Fitur-fitur pembeda tersebut terletak pada motivasi atau keinginan seseorang terhadap sesuatu yang diperlakukan. Dengan demikian, makna asali merupakan objek kajian yang sangat penting dalam aspek makna bahasa. Karena makna asali sebagai inti untuk mengembangkan aspek makna bahasa yang lebih luas.
Selain makna asali, ada pula beberapa konsep penting lain dalam teori MSA di antaranya polisemi, aloleksi dan pilihan valensi dan sintaksis makna. Polisemi dalam teori MSA merupakan bentuk leksikon tunggal untuk mengekspresikan dua makna asali yang berbeda. Keduanya tidak ada hubungan komposisi (takkomposisi) karena masing-masing mempunyai kerangka gramatikal yang berbeda. Polisemi juga sebagai aspek utama dalam menghubungkan semantik dan sintaksis. Oleh karena itu, polisemi dipandang sebagai salah satu aspek untuk menghubungkan leksikal dengan sintaksis (leksiko-sintaksis), bentuk dan korespondensi makna. Bentuk hubungannya, yaitu hubungan yang menyerupai pengartian (entailment like relationship). Misalnya, dalam bahasa Inggris, verba cutting merupakan ekspresi dari MELAKUKAN dan TERJADI. Polisemi MELAKUKAN dan TERJADI mengacu pada relasi instrumen dari bentuk  someone X is doing something to something Y with something else Z for some time because of this, something is happening at the same time to thing Y as this someone wanted (Goddard, t.t).
Konsep aloleksi juga merupakan aspek penting dalam teori MSA yaitu menjelaskan beberapa bentuk kata yang berbeda untuk mengungkapkan suatu makna tunggal. Misalnya I dan me, sebagai aloleksi posisional, someone dan person, sebagai aloleksi kombinatorial, dan lain-lain sebagainya.
Aspek valensi tidak kala penting dalam kajian MSA. Verba mengandung makna inhren tindakan yang berkemampuan untuk mengikat dua atau lebih argumen. Verba dapat bervalensi dua atau lebih argumen. Secara semantis verba berperan sangat penting dalam mengontrol jumlah argumen yang dibutuhkan oleh verba itu sendiri.
Dari aspek sintaksis verba dinilai sebagai struktur makna yang sangat kompleks, yaitu terdiri atas komponen berstruktur:  someone is doing something to thing  with thing  for some time because of this, something is happening at the same time to thing as this someone wanted. Perilaku sintaksis tersebut berkaitan erat dengan makna dan sifat ketransitivan verba. Hal inilah pola hubungan semantik leksikal dengan sintaksis atau disebut leksiko-sintaksis. Makna asali, aloleksi, polisemi, pilihan valensi, dan  makna sintaksis dalam teori MSA sangat relevan diterapkan dalam Bahasa Manggarai.
Kemudian, teori MSA  juga mengkaji data (berupa leksikon, atau kalimat) dari bahasa asali dengan tujuan untuk mengeksplikasi semua data yang telah dikonstruksikan agar batasannya menjadi lebih jelas. Semua data tersebut dieksplikasi dengan cara parafrase untuk mereduksi makna menjadi seperangkat makna yang paling sederhana (Murphy, 2010). Lebih lanjut Yoon (2003) menjelaskan bahwa untuk menghindari ketidakjelasan makna atau makna yang berputar-putar, dan kesewenangan dalam memaknai bahasa, atau batasan suatu kata atau ujaran harus direpresentasikan melalui MSA.
Pemilihan teori MSA berdasarkan atas pertimbangan: (1) teori ini dirancang untuk mengekplikasi semua makna, baik makna leksikal, makna gramatikal, maupun makna ilokusi, (2) kondisi alami sebuah bahasa adalah mempertahankan satu bentuk untuk satu makna dan satu makna untuk satu bentuk, (3) teori ini dapat mengeksplikasi makna dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alami (Goddard dan Wierzbicka, 1994:22; Goddard dan Peeters dalam Benjamins, 2006:27).
Prinsip dasar pendekatan MSA, selain mereduksi makna leksikon dengan cara parafrase yang mempunyai kerangka eksplikasi secara sistematis dalam suatu parafrase yang paling sederhana, tetapi MSA juga mengandung konsep makna asali yaitu makna leksikon yang tidak dapat diparafrasekan lagi menjadi lebih sederhana. Pemetaan eksponen dan eksplikasi melalui parafrase tersebut perlu dilakukan agar terhindar dari ketidakjelasan makna dan makna yang berputar-putar serta kesewenangan menggunakan bahasa (Yoon, 2003).
Mekanisme kerja teori MSA yaitu menganalisis makna leksikon dengan metode pemetaan eksponen dan eksplikasi melalui parafrase. Pemetaan eksponen, subkomponen serta eksplikasi makna tersebut meliputi entitas yang dikenai perlakuan, alat yang digunakan, kekhasan gerakan, hasil yang diharapkan. Melalui metode eksplikasi tersebut dapat membedakan fitur-fitur semantik dari setiap leksikon.
Untuk menentukan fitur distingtif dari setiap leksikon tergantung pada penggunaan beberapa aspek berikut: (1) seseorang X terdiri atas: anak-anak, orang dewasa, ibu, bapak, nenek, kakek, dan (2) motivasi seseorang X melakukan sesuatu atas dasar ketulusan, benci, marah, dendam, (3) sesuatu Y dapat berupa manusia, hewan, pohon, rumput, daun, buah, tali, kain, dan sayur-sayuran, (4) sesuatu Z dapat berupa pisau, parang kecil, parang besar, parang tajam, parang tumpul, kapak, sabit, dan ekor ikan, sekop, silet, peketo ‘alat memotong padi ladang’, bambu iris (lampek), gunting, dan tangan (5) cara menggunakan alat misalnya, menyentuh, tanpa menyentuh, gerak lurus, gerak miring, hanya sekali atau dua kali atau berulang-ulang, (6) hasil yang diinginkan berupa potongan agak halus, kasar, kecil-kecil, besar-besar, pendek-pendek, panjang-panjang, rata, tajam, terpisah, tidak terpisah, satu bagian, dua bagian, beberapa bagian, sedikit, banyak. Keenam hal di atas merupakan fitur-fitur semantik yang dimiliki secara inheren oleh setiap leksikon walaupun masih dalam medan makna yang sama. Untuk eksplikasi tersebut, Goddard (t.t) mengklasifikasikan dalam beberapa bagian yaitu lexico-syntactic frame, prototypical motivational scenario, instrument, dan using the instrument, serta what happening to the object.
Data menunjukkan bahwa verba “memotong” dalam BM Subdialek Kempo diklasifikasikan atas beberapa bagian, yaitu  (1) memotong pada manusia dengan realisasi leksikal sebagai berikut: longke, poro, dan kuir, (2) memotong pada hewan dengan realisasi leksikal sebagai berikut:  mbele, paki, lecap, ndota, ca’e, dawo, ciang, ropo, kuntir, ndola, ciang, saser, tu’i, carik, kurit, duti, leak, rebut, (3) memotong pohon dengan realisasi leksikal sebagai berikut: poka, keto, campi, wancing, we’ang, rucik, coco, cicik, nggi’it, cikat, weset, wigak, wi’ak, wikak, cingke, kiru, kuir, panco, ri’ok, oro, cecak, tesi, dunca, doca, cangkol, retep, wincil, lea, wi’il, susir, kepu, tega, ngeteng, lempa, pante, (4) memotong rumput dengan realisasi leksikal verba sebagai berikut: ako, arep, peketo, babar, sasap, sangko, batir, kebut, (5) memotong daun dengan realisasi leksikal verba sebagai berikut ciak, sarit, lata, koer, rekut, rekut, kiru, kocok, rekok, rikok, (6) memotong buah dengan realisasi leksikal verba sebagai berikut: pu’a, lesep, kasi, pu’ik, kengket, ro’e, wegek, giok, cuat, roke, cepuk, cucik, lasar, wetok, ciel, wegak, liser, kilu, rongket, pangkang, kikir, (7) memotong tali dengan realisasi leksikal verba sebagai berikut: wingke, wicok, wete, keti, kocel, rais, kere, kandit, dan (8) memotong kain dengan realisasi leksikal verba sebagai berikut: wirot, rotas, kerek, gunting.
Realisasi leksikal verba “memotong” pada manusia di antaranya longke, poro dan kuntir. Leksikon longke, poro dan kuntir merupakan verba yang mengandung makna inheren perbuatan atau tindakan. Verba tindakan tersebut berkemampuan untuk mengikat dua argumen yaitu siapa yang melakukan, dan kepada siapa dia melakukannya.
Contoh penggunaan verba longke dalam kalimat:
(1)   Hia   laing     longke      wuk-n       na
‘Dia sedang  pangkas     rambut-3T Part’
(Dia sedang memangkas rambutnya)

Verba longke terdiri atas tiga slot substantif, yaitu slot subjek, slot objek, dan slot komplemen. Misalnya (1) someone (hia), (2) did something (wuk), (3) to someone ( ase-n). Meskipun verba longke terdiri atas tiga slot substantif, namun pilihan valensinya terdiri atas dua, yaitu (A) someone did something (hia longke wuk) dan (B) someone did something to someone (Ame longke wuk de ase-n).
Secara semantis valensi verba longke dalam kalimat di atas terdiri atas dua argumen, yaitu hia sebagai argumen agen dan wuk de ase-n sebagai pasien. Pemarkahan enklitik–n pada Nomina ase mengacu kepada pronomina persona diri ketiga tunggal hia. Verba longke bisa diletakan pada awal kalimat untuk menyatakan suruhan kepada orang lain misalnya: Longke ge wuk diha ho’o lau ra! (Kau pangkas rambutnya dia ini!). Kemudian untuk merespons pertanyaan siapa yang melakukan adalah pronomina persona ketiga tunggal liha. Misalnya Liha ata longke wuk de ase-n meseng (Dia yang memangkas rambut adiknya kemarin). Ketiga bentuk hia, diha, dan liha merupakan sebuah aloleksi posisional. Dikatakan demikian karena distribusi bentuk alternasinya tergantung posisi misalnya hia, liha berposisi sebelum verba (pre-verbally) dan diha posisi ditempat lain. Kalimat suruhan di atas secara makna dinilai agak kasar. Untuk mengetahui kasar atau tidaknya kalimat tersebut tergantung pada penggunaan pronomina persona tunggal misalnya lau ‘kau’ dan lite ‘Anda’. Perbedaannya, lau digunakan untuk menyapa orang lain dengan kasar, sedangkan lite digunakan untuk menyapa orang lain dengan halus.
Begitu pula pronomina persona tunggal hau, gau dan lau merupakan sebuah aloleksi posisional. Gau merupakan bentuk posesif dari hau sedangkan lau untuk merespons pertanyaan siapa yang melakukannya. Ketiga bentuk tersebut memiliki kesamaan makna ‘kau’ namun perbedaannya terletak pada distribusi bentuk alternasi.
Secara semantis verba longke berkolokasi dengan wulu ‘buluh’ sekitar seluruh bagian tubuh mansuia. Dikatakan demikian karena setelah verba longke tidak dapat disubsitusikan dengan Nomina lain selain wuk atau wulu  Perhatikan bentuk kolokasi verba longke berikut ini.
longke wuk ‘gunting rambut’, longke wulu kipi ‘gunting kumis’, longke wulu janggok ‘gunting janggut’, longke wulu papar ‘gunting kecambang’, longke wulu mata ‘gunting bulu mata’, longke wulu lele ‘gunting bulu ketiak’, longke wulu roweng ‘gunting bulu dada’, longke wulu wai ‘gunting bulu kaki’.
Leksikon longke dimaknai “memangkas bagian rambut menjadi beberapa bagian” memerlukan alat berupa gunting/pisau tajam, dengan cara menggerakan tangan dari arah belakang ke depan atau sebaliknya terarah pada entitas yang diperlakukan. Pemetaan eksponennya sebagai berikut. “Seseorang X longke Y dengan menggunakan gunting atau pisau tajam Z dengan gerak dari belakang ke depan atau sebaliknya terarah langsung dengan hasil berupa entitas berbentuk potongan pendek-pendek”, Y menjadi beberapa potongan yang terpisah. Dengan subeksponennya: “X  longke  Y”, “sesuatu yang baik terjadi”.  Eksponen dan subeksponen dari verba longke dapat dieksplikasi melalui parafrase berikut ini.
Pada waktu itu, X melakukan sesuatu pada Y
Karena ini, pada waktu yang bersamaan terjadi sesuatu pada Y
X melakukan sesuatu dengan cara tertentu (dari belakang ke  depan atau sebaliknya miring/lurus, terarah, secara berulang-ulang, dan langsung)
X melakukan sesuatu dengan alat tertentu (gunting/pisau tajam)
Y menjadi beberapa potong yang terpisah.
X menginginkan ini
X melakukan sesuatu seperti ini

Pemetaan leksikon longke tersebut dapat dieksplikasi aspek leksiko-sintaksis, motivasi prototypical, instrumen, cara menggunakan dan hasil yang diharapkan  berikut ini.
a.                   Lexico-syntactic frame
seseorang X longke sesuatu Y dengan menggunakan sesuatu Z karena ini, sesuatu terjadi pada Y sesuai yang diinginkan

b.                  Prototypical motivational scenario
seseorang longke sesuatu seperti ini dengan gerak miring/lurus dari belakang ke depan, terarah pada entitas secara berulang-ulang karena seseorang menginginkan ini:
seseorang memikirkan seperti ini:
“seseorang menginginkan ini menjadi sesuatu yang lebih baik,
seseorang menginginkan ini menjadi bagian yang  terpisahkan.
karena ini, seseorang ingin melakukan sesuatu pada sesuatu
pada waktu yang bersamaan, seseorang ingin terjadi sesuatu sesuai yang diinginkan”

c.                   Instrument
pada saat itu, seseorang ingin sesuatu seperti ini, seseorang longke  sesuatu dengan menggunakan sesuatu, sesuatu bukan bagian dari tubuh seseorang
sesuatu bagian dari gunting, pisau tajam,
pada saat seseorang melakukan sesuatu seperti ini dengan menggunakan sesuatu, seseorang tanpa memegang bagian dari sesuatu.

d.                  Using the instrument
pada saat seseorang ingin melakukan sesuatu seperti ini dengan menggunakan sesuatu,
bagian gunting/pisau tajam langsung menyentuh atau tearah pada sesuatu
pada saat itu, tangan seseorang bergerak sesuai yang dinginkan
karena ini, pada waktu yang bersamaan bagian gunting/pisatu tajam langsung menyentuh bagian sesuatu

e.                   What is happening to the object
karena ini, sesuatu terjadi pada sesuatu sesuai yang diinginkan
karena ini, sesuatu tidak seperti ini sebelumnya

Contoh penggunaan verba poro dalam kalimat:
(2)   Ame   laing     poro     putes        de   mantar-n
‘Ayah sedang potong  tali pusat Part anak-3T’
(Ayah sedang memotong plasenta anaknya)

Verba poro terdiri atas tiga slot substantif, yaitu slot subjek, slot objek, dan slot komplemen. Misalnya (1) someone (ame), (2) did something (putes), (3) to someone (mantar-n). Meskipun verba poro terdiri atas tiga slot substantif, namun pilihan valensinya terdiri atas dua, yaitu (A) someone did something (Ame poro putes) dan (B) someone did something to someone (Ame poro putes de mantar-n).
Valensi verba poro dalam kalimat di atas berkemampuan untuk mengikat dua argumen, yaitu ame sebagai argumen agen dan putes de mantar-n sebagai argumen pasien. Ame merupakan bentuk aloleksi kombinatorial dengan ata tua, kraeng tua,  dan mantar merupakan bentuk aloleksi kombinatorial dengan anak waong, anak werek, anak koe. Pemarkahan enklitik–n pada Nomina mantar mengacu pada pronomina persona tunggal ame.
Secara semantis verba poro berkolokasi makna dengan Nomina putes. Dikatakan demikian karena verba poro tidak dapat disubstitusikan dengan Nomina lain sebagai bentuk distribusi alternasinya selain Nomina putes. Misalnya poro putes. Poro putes bagi anak yang baru lahir merupakan tradisi masyarakat Manggarai yang menggunakan alat berupa lampek ‘bambu yang diiris tajam’. Tradisi ini dilakukan terutama bagi anak yang lahir di rumah selain di rumah sakit.
Verba poro “memotong pada bagian tali pusat atau plasenta” memerlukan alat berupa bambu iris (lampek) dengan gerak terarah dari belakang ke depan lurus secara berulang-ulang langsung pada Y. Pemetaan eksponennya: ‘Seseorang X poro sesuatu Y menggunakan alat berupa lampek Z dengan gerak terarah dari belakang ke depan secara berulang-ulang, dan langsung dengan hasil berupa entitas yang berbentuk potongan agak pendek yang terpisah, Y menjadi dua bagian.’ Dengan subeksponennya sebagai berikut. ‘X poro Y’ ‘sesuatu yang baik terjadi’
Bentuk eksplikasinya sebagai berikut:
Pada waktu itu, X melakukan sesuatu pada Y
Karena ini, pada waktu yang bersamaan terjadi sesuatu pada Y
X melakukan sesuatu dengan cara tertentu   (terarah, dari belakang  ke depan, berulang-ulang, dan langsung)
X melakukan sesuatu dengan alat tertentu (bambu iris yang tajam)
Y menjadi dua bagian
X menginginkan ini
X melakukan sesuatu seperti ini

Pemetaan leksikon poro tersebut dapat dieksplikasi aspek leksiko-sintaksis, motivasi prototypical, instrumen, cara menggunakan dan hasil yang diharapkan berikut ini.
a.      Lexico-syntactic frame
seseorang X melakukan poro sesuatu Y dengan menggunakan sesuatu Z karena ini, sesuatu terjadi pada Y sesuai yang diinginkan

b.                  Prototypical motivational scenario
seseorang melakukan poro sesuatu seperti ini dengan gerak lurus dari belakang ke depan, terarah pada entitas secara berulang-ulang karena seseorang menginginkan ini:
Seseorang memikirkan seperti ini:
“seseorang menginginkan ini menjadi sesuatu yang lebih baik, seseorang menginginkan ini menjadi bagian yang  terpisahkan.
Karena ini, seseorang ingin melakukan sesuatu pada sesuatu
Pada waktu yang bersamaan, seseorang ingin terjadi sesuatu sesuai yang diinginkan”

c.    Instrument
pada saat itu, seseorang ingin sesuatu seperti ini,
seseorang melakukan poro sesuatu dengan menggunakan sesuatu,
sesuatu bukan bagian dari tubuh seseorang
sesuatu bagian dari bambu iris tajam (lampek),
pada saat seseorang melakukan sesuatu seperti ini
dengan menggunakan sesuatu,

d.   Using the instrument
pada saat seseorang ingin melakukan sesuatu seperti ini dengan menggunakan sesuatu,
bagian bambu iris tajam (lampek) langsung menyentuh atau tearah pada sesuatu
pada saat itu, tangan seseorang bergerak sesuai yang dinginkan
karena ini, pada waktu yang bersamaan bagian bambu  iris  langsung menyentuh bagian sesuatu
sesuatu yang lain terjadi sesuai yang diinginkan

e.    What is happening to the object
karena ini, sesuatu terjadi pada sesuatu sesuai yang diinginkan
karena ini, sesuatu tidak seperti ini sebelumnya

Contoh penggunaan verba kuntir dalam kalimat:
(3)      Inwai         hitu   kuntir   wuku wai-n     rebao
‘Perempuan itu    potong kuku  kaki-3T tadi’
(Perempuan itu tadi memotong kukunya)
Pilihan valensi verba kuntir terdiri atas dua, yaitu (1) someone did something (Inwai hitu kuntir wuku) dan (2) someone did something to someone (Inwai hitu kuntir wuku wai de ase-n). Valensi verba longke  terdiri atas dua argumen, yaitu inwai sebagai argumen agen, dan wuku sebagai argumen pasien. Pemarkah enklitik –n pada Nomina ase mengacu pada pronomina persona inwai. Pronomina persona inwai memiliki bentuk aloleksi kobinatorial dengan ata wina, inuk, ata molas. Dikatakan demikian karena pronomina persona inwai dapat disubstitusikan dengan beberapa bentuk tersebut. Bentuk Ata wina, inuk, ata molas mengandung makna ‘perempuan muda’.Misalnya: (1) Ata wina hitu laing kuntir wuku wai de ase-n, (2) Ata molas hitu laing kuntir wuku wai de ase-n, (3) Inuk hitu laing kuntir wuku wai de ase-n.
Secara semantis, verba kuntir berkolokasi dengan wuku ‘kuku’. Penggunaan verba kuntir hanya dilakukan pada manusia, bukan hewan. Keterbatasan penggunaan leksikon tersebut mungkin disebabkan karena masyarakatnya tidak memiliki tradisi memotong kuku hewan. Ikhwal ini dapat dilihat pada deskripsi berikut: (1) Kuntir wuku wai ‘memotong kuku kaki’, (2) Kuntir wuku lime ‘memotong kuku tangan’.
Verba kuntir ‘memotong’ pada bagian kuku (tangan ataupun kaki) memerlukan alat berupa silet atau penggunting kuku dengan gerak terarah dari belakang ke depan atau sebaliknya lurus secara berulang-ulang langsung pada Y. Pemetaan eksponennya:  ‘Seseorang X kuntir sesuatu Y menggunakan alat berupa penggunting kuku atau silet dengan gerak memotong terarah secara berulang-ulang dari belakang ke depan atau sebaliknya berulang-ulang dan langsung. Y menjadi beberapa potongan kecil. Subeksponen dari verba kuntir tersebut adalah sebagai berikut. ‘X  kuntir Y’ ‘sesuatu yang baik terjadi. Bentuk eksplikasinya adalah
Pada waktu itu, X melakukan sesuatu pada Y
Karena ini, pada waktu yang bersamaan terjadi sesuatu pada Y
X melakukan sesuatu dengan cara tertentu (terarah, dari belakang  ke depan, atau sebaliknya berulang-ulang, dan langsung)
X melakukan sesuatu dengan alat tertentu (silet atau penggunting kuku)
Y menjadi beberapa bagian
X menginginkan ini
X melakukan sesuatu seperti ini

Pemetaan leksikon kuntir tersebut dapat dieksplikasi aspek leksiko-sintaksis, motivasi prototypical, instrumen, cara menggunakan dan hasil yang diharapkan  berikut ini.
a.                  Lexico-syntactic frame
seseorang X melakukan kuntir sesuatu Y dengan menggunakan sesuatu Z karena ini, sesuatu terjadi pada Y sesuai yang diinginkan

b.      Prototypical motivational scenario
seseorang melakukan kuntir sesuatu seperti ini dengan gerak lurus dari belakang ke depan atau sebaliknya terarah pada entitas secara berulang-ulang karena seseorang menginginkan ini:
Seseorang memikirkan seperti ini:
“seseorang menginginkan ini menjadi sesuatu yang lebih   baik, seseorang menginginkan ini menjadi bagian yang  terpisahkan.
Karena ini, seseorang ingin melakukan sesuatu pada sesuatu

c.       Instrument
pada saat itu, seseorang ingin sesuatu seperti ini, seseorang melakukan kuntir sesuatu dengan menggunakan sesuatu, sesuatu bukan bagian dari tubuh seseorang
sesuatu bagian dari silet atau penggunting kuku
pada saat seseorang melakukan sesuatu seperti ini dengan menggunakan sesuatu

d.   Using the instrument
pada saat seseorang ingin melakukan sesuatu seperti ini dengan menggunakan sesuatu,
bagian silet atau penggunting kuku langsung menyentuh atau tearah pada sesuatu
pada saat itu, tangan seseorang bergerak sesuai yang dinginkan
karena ini, pada waktu yang bersamaan bagian  silet atau penggunting kuku langsung menyentuh bagian sesuatu

e.    What is happening to the object
karena ini, sesuatu terjadi pada sesuatu sesuai yang diinginkan
karena ini, sesuatu tidak seperti ini sebelumnya


Fitur distingtif memotong pada manusia
longke, poro,dan kuntir
Leksikon
Entitas

rambut
kuku
plasenta
longke
+
-
-
poro
-
-
+
kuntir
-
+
-


5.   Simpulan
Makalah ini hanya mengangkat sebagian data untuk dianalisis menggunakan pendekatan semantik, dengan aplikasi teori Metabahasa Semantik Alami (MSA). Teori ini mengkaji bahasa dari aspek filsafat, psikologi, dan budaya. Ketiga aspek tersebut telah menjadi satu-kesatuan dalam bahasa alami.
Realisasi leksikal verba “memotong” dalam bahasa Manggarai memiliki keunikan tersendiri, baik dalam memotong pada manusia, hewan, pohon, rumput, buah, daun, tali dan kain. Leksikon-leksikon yang merupakan hiponimi dari verba “memotong” memiliki satu bentuk untuk satu makna dan satu makna untuk satu bentuk sesuai dengan postulat ilmu semantik.
Struktur semantik verba “memotong” dianalisis leksiko-sintaksis, motivasi prototipikal skenario, alat yang digunakan, cara menggunakan alat, hasil yang diinginkan oleh seseorang.  Analisis leksikon dengan cara tersebut dimaksudkan agar menghindari makna leksikon yang berputar-putar atau meminimalisir sirkularitas makna atau memberikan batasan makna leksikon yang tuntas dan jelas.



DAFTAR PUSTAKA


Allan, K. 2001. Natural Language Semantics: Oxford: Blackwell.
Alwi, H. Dardjowidjojo, S. Lapoliwa, H. Moeliono, A. M. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka

Benjamins, B.V John. 2006. Semantic Primes and Universal Grammer: Empirical Evidence from The Romance Languages. The Netherlands: P.O. Box 36224.

Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan public dan Ilmu Sosial Lainnya.Jakarta: Kencana.

Frawley, W.1992. Linguistic Semantics. New Jersey: Lawrence Erlbaum.

Givon, Talmy. 1984. Syntax: A Funtion Typology Introduction. Vol.1 Amsterdam/Phildelpia: Jhon Benyamins.

Goddard, C. Wierzbicka, A.1994. Semantic and lexical Universals. Studies In language Companion Series  25. Australia: University of  New England.

Goddard, C. 1996. Semantic Theory and Semantic Universal. Cross Linguistic Syntax from Semantic Point of View (NSM Aproach) 1—5 Australia.

Goddard, C. 1997. Semantic Analysis:A Practical Introduction. Australia: University of New England.

Goddard, C. 2002. Dynamic ter- in Malay. A Study in Grammatical polysemy. Study in Language. NSW: The University of New England. (serial  online) [cited 2011 Sep.10].

Goddard, C. (t.t). Semantic Primes, Semantic Molecules, Semantic Templates: Key concepts in the NSM approach to lexical typology. (serial online) [cited 2011 Sep. 4]. Available from: University of New England: http/www.susanne.vejdemo.se/Typology/
GoddardSemantic Typology.pdf.

Hidayat, A. A. 2009. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Leech, G. 2003. Semantik. (Paina Partana, Pentj).Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Murphy, M. L. 2010. Lexical Meaning. Cambridge Textbooks in Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.

Wierzbicka, A. 1996. Semantics: Primes and Universals.New York: Oxford University Press.

Yoon, Kyung-Joo. 2003. Korean maum vs. English heart and mind: Contrastive Semantics of Cultural Concepts. (serial online) [cited 2010 Okt.11].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar