Senin, 30 Januari 2012

BAHASA IBU, MENGAPA TIDAK ?


OPINI
BAHASA IBU, MENGAPA TIDAK ?
Oleh :
Vinsensius Gande, S.Pd

Entah apa yang akan terjadi pada bangsa kita ini, yang mengagung-agungkan bahasa Inggris, sebagai bahasa yang harus dikuasai oleh masyarakatnya, sampai-sampai dalam kurikulumnya juga sudah memasukan mata pelajaran bahasa Inggris untuk diajarkan mulai dari kelas IV Sekolah Dasar. Tidak menutup kemungkinan lagi ke depannya bahasa Inggris akan diajarkan mulai dari kelas I SD. Suatu hal yang patut disayangkan. Padahal manfaat bahasa Inggris bagi masyarakat itu sendiri dalam berkomunikasi sehari-hari masih sangat minim ketimbang penggunaan bahasa Ibu.
Bahasa Ibu dalam konteks ini adalah bahasa yang mempunyai kedekatan dengan penuturnya karena bahasa tersebut telah digunakan sejak awal. Bagi masyarakat Indonesia, sebagian besar bahasa Ibu adalah bahasa lokal yang berfungsi sebagai bahasa daerah. Sedangkan bahasa Indonesia merupakan bahasa Nasional. Namun, seiring kemajuan Ilmu Pengetahun, dan Teknologi sering juga kita ketemukan bahasa Indonesia juga merupakan bahasa Ibu meskipun penuturnya memiliki bahasa ibunya sendiri. Walaupun demikian, kita harus mengakui bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakan bahasa Ibu dalam berkomunikasi sehari-hari baik dalam keluarga, dalam masyarakat  lebih khusus lagi untuk kepentingan komunikasi dengan sang Ilahi, dan para leluhur kita. Kita menggunakan bahasa Inggris hanya pada saat-saat tertentu saja. Di samping itu, perangkat pembelajaran pula masih dalam tulisan bahasa Indonesia. Serta sebagian besar guru belum menguasai Bahasa Inggris. “Gurunya saja belum menguasai bahasa Inggris secara baik apalagi siswanya”. Dapat dikatakan bahwa manfaat bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari sangat rendah jika dilihat dari sudut pandang fungsi sosial bahasa itu sendiri.
Kebijakan pemerintah terhadap bahasa Inggris sebagai objek yang sentral rupanya kurang tepat, karena kebijakan tersebut belum menyentuh kebutuhan masyarakatnya. Pemerintah hanya melihat pentingnya bahasa dari sudut pandang ekonomi semata. Jika demikian, maka identitias bangsa ini sebagai bangsa yang berbudaya akan menjadi terancam punah pula. Padahal, bahasa memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Sebagai bangsa yang berbudaya, tentu aktivitas yang berkaitan tradisi adat semakin tinggi. Sebuah asumsi bahwa apabila suatu kelompok masyarakat mempunyai aktivitas budayanya tinggi, maka semakin tinggi pula penguasaan bahasa ibunya. Begitu pun sebaliknya, apabila suatu masyarakat aktivitas yang berkaitan dengan budayanya rendah maka rendah pula penguasaan bahasa ibunya. Asumsi ini dilatarbelakangi oleh suatu pemikiran bahwa aktivitas budaya tentu menggunakan bahasa Ibu untuk mendekatkan dirinya dengan sang leluhur dan kepada sang Ilahi seperti yang dilakukan oleh nenek moyang kita yang hanya mengenal bahasa ibu. Nenek moyang kita tidak mengenal bahasa-bahasa yang berkembang saat ini apalagi Bahasa Inggris. Lalu  proses pewarisannya pula melalui upacara-upacara adat. Ini suatu gambaran bahwa manusia lebih dekat dengan leluhurnya. Sehingga bagi masyarakat kota yang jarang aktivitas yang berkaitan dengan  budayanya maka pengguasaan bahasa ibu kecendrungan punah. Sayangnya, pewaris-pewaris bahasa ibu tersebut tidak lagi mempertahankan dan melestarikan sebagai suatu kekhasan daerah itu sendiri dan menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan pada dasarnya bukan untuk menghilangkan atau memusnakan bahasa ibu melainkan untuk memperkuat bahasa ibu itu sendiri.
Dengan melihat fenomena bahasa Ibu yang mencemaskan atau memprihatinkan ini, maka UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional agar bahasa ibu dipertahankan dan dilestarikan sebagai kekayaan dunia internasional. Perhatian dunia internasional terhadap bahasa ibu sudah semakin tinggi, bahkan kegiatan-kegiatan penelitian untuk kepentingan ilmu pengetahuan kebahasan sudah mulai digarap bahkan sudah sampai pada bagian timurnya Indonesia yang kita cintai ini. Kemudian bahasa ibu sudah menjadi objek kajian bahasa dalam perkembangan dunia pendidikan pada abad 21 ini. Ini menunjukkan bahwa  bahasa Inggris bukan lagi sebagai sentral pembicaraan dunia internasional melainkan bahasa ibu. Karena bahasa ibu memiliki sejumlah kekhasan  bangsa itu sendiri yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain yang harus dipertahankan dan dilestarikan. Lalu pertanyaan bagi kita, apakah kita sebagai generasi baru mampu mewarisi dan melestarikan bahasa ibu yang merupakan warisan leluhur kita ? Ini sebuah pertanyaan yang menantang kita, yang harus dicarikan jalan keluarnya. Berbagai idealisme dan perdebatan tentang bahasa ibu akan muncul dalam benak kita. Tetapi, Gagasan ini tidak bermaksud untuk membatasi penguasaan bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris atau pun bahasa lain. Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah harus proporsional. Sehingga harkat dan martabat bahasa ibu terlindungi. Kita harus bangga terhadap masyarakat pedesaan/pesisir yang masih mengedepankan bahasa ibunya masing-masing dalam berkomunikasi baik terhadap Sang Ilahi maupun kepada leluhurnya atau upacara-upacara adat lainnya. Mereka selalu ikut ambil bagian dalam ritus adat sehingga bahasa ibu sudah mendarahdaging yang sangat sulit mereka abaikan. Ketimbang kaum terpelajar, yang cendrung menganggap bahasa ibu itu, kuno, primitif, dan kolot serta tidak mengikuti kemajuan. Yang mendasari pemikiran mereka adalah kegengsian, dan modern serta duit. Mereka mendudukan dirinya lebih tinggi, lebih bergensi, dan mengais banyak duit. Ini menunjukkan bahwa bahasa ibu hanya bisa dipakai oleh masyarakat kecil.  Akan dilanjutkan……….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar