OPINI
BAHASA
IBU, MENGAPA TIDAK ?
Vinsensius
Gande, S.Pd
Entah apa yang akan terjadi pada bangsa kita ini, yang
mengagung-agungkan bahasa Inggris, sebagai bahasa yang harus dikuasai oleh
masyarakatnya, sampai-sampai dalam kurikulumnya juga sudah memasukan mata
pelajaran bahasa Inggris untuk diajarkan mulai dari kelas IV Sekolah Dasar. Tidak
menutup kemungkinan lagi ke depannya bahasa Inggris akan diajarkan mulai dari
kelas I SD. Suatu hal yang patut disayangkan. Padahal manfaat bahasa Inggris
bagi masyarakat itu sendiri dalam berkomunikasi sehari-hari masih sangat minim ketimbang
penggunaan bahasa Ibu.
Bahasa Ibu dalam konteks ini adalah bahasa yang mempunyai
kedekatan dengan penuturnya karena bahasa tersebut telah digunakan sejak awal.
Bagi masyarakat Indonesia, sebagian besar bahasa Ibu adalah bahasa lokal yang
berfungsi sebagai bahasa daerah. Sedangkan bahasa Indonesia merupakan bahasa
Nasional. Namun, seiring kemajuan Ilmu Pengetahun, dan Teknologi sering juga
kita ketemukan bahasa Indonesia juga merupakan bahasa Ibu meskipun penuturnya
memiliki bahasa ibunya sendiri. Walaupun demikian, kita harus mengakui bahwa
sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakan bahasa Ibu dalam berkomunikasi
sehari-hari baik dalam keluarga, dalam masyarakat lebih khusus lagi untuk kepentingan
komunikasi dengan sang Ilahi, dan para leluhur kita. Kita menggunakan bahasa
Inggris hanya pada saat-saat tertentu saja. Di samping itu, perangkat
pembelajaran pula masih dalam tulisan bahasa Indonesia. Serta sebagian besar
guru belum menguasai Bahasa Inggris. “Gurunya saja belum menguasai bahasa
Inggris secara baik apalagi siswanya”. Dapat dikatakan bahwa manfaat bahasa
Inggris dalam kehidupan sehari-hari sangat rendah jika dilihat dari sudut
pandang fungsi sosial bahasa itu sendiri.
Kebijakan pemerintah terhadap bahasa Inggris sebagai objek
yang sentral rupanya kurang tepat, karena kebijakan tersebut belum menyentuh
kebutuhan masyarakatnya. Pemerintah hanya melihat pentingnya bahasa dari sudut
pandang ekonomi semata. Jika demikian, maka identitias bangsa ini sebagai
bangsa yang berbudaya akan menjadi terancam punah pula. Padahal, bahasa
memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Sebagai bangsa
yang berbudaya, tentu aktivitas yang berkaitan tradisi adat semakin tinggi. Sebuah
asumsi bahwa apabila suatu kelompok masyarakat mempunyai aktivitas budayanya
tinggi, maka semakin tinggi pula penguasaan bahasa ibunya. Begitu pun
sebaliknya, apabila suatu masyarakat aktivitas yang berkaitan dengan budayanya
rendah maka rendah pula penguasaan bahasa ibunya. Asumsi ini dilatarbelakangi
oleh suatu pemikiran bahwa aktivitas budaya tentu menggunakan bahasa Ibu untuk
mendekatkan dirinya dengan sang leluhur dan kepada sang Ilahi seperti yang
dilakukan oleh nenek moyang kita yang hanya mengenal bahasa ibu. Nenek moyang
kita tidak mengenal bahasa-bahasa yang berkembang saat ini apalagi Bahasa
Inggris. Lalu proses pewarisannya pula
melalui upacara-upacara adat. Ini suatu gambaran bahwa manusia lebih dekat
dengan leluhurnya. Sehingga bagi masyarakat kota yang jarang aktivitas yang berkaitan
dengan budayanya maka pengguasaan bahasa
ibu kecendrungan punah. Sayangnya, pewaris-pewaris bahasa ibu tersebut tidak
lagi mempertahankan dan melestarikan sebagai suatu kekhasan daerah itu sendiri
dan menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan
pada dasarnya bukan untuk menghilangkan atau memusnakan bahasa ibu melainkan
untuk memperkuat bahasa ibu itu sendiri.
Dengan melihat fenomena bahasa Ibu yang mencemaskan atau
memprihatinkan ini, maka UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari
Bahasa Ibu Internasional agar bahasa ibu dipertahankan dan dilestarikan sebagai
kekayaan dunia internasional. Perhatian dunia internasional terhadap bahasa ibu
sudah semakin tinggi, bahkan kegiatan-kegiatan penelitian untuk kepentingan
ilmu pengetahuan kebahasan sudah mulai digarap bahkan sudah sampai pada bagian
timurnya Indonesia yang kita cintai ini. Kemudian bahasa ibu sudah menjadi
objek kajian bahasa dalam perkembangan dunia pendidikan pada abad 21 ini. Ini
menunjukkan bahwa bahasa Inggris bukan
lagi sebagai sentral pembicaraan dunia internasional melainkan bahasa ibu.
Karena bahasa ibu memiliki sejumlah kekhasan
bangsa itu sendiri yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain yang
harus dipertahankan dan dilestarikan. Lalu pertanyaan bagi kita, apakah kita
sebagai generasi baru mampu mewarisi dan melestarikan bahasa ibu yang merupakan
warisan leluhur kita ? Ini sebuah pertanyaan yang menantang kita, yang harus
dicarikan jalan keluarnya. Berbagai idealisme dan perdebatan tentang bahasa ibu
akan muncul dalam benak kita. Tetapi, Gagasan ini tidak bermaksud untuk
membatasi penguasaan bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris atau pun bahasa lain.
Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah harus proporsional. Sehingga harkat dan
martabat bahasa ibu terlindungi. Kita harus bangga terhadap masyarakat
pedesaan/pesisir yang masih mengedepankan bahasa ibunya masing-masing dalam
berkomunikasi baik terhadap Sang Ilahi maupun kepada leluhurnya atau
upacara-upacara adat lainnya. Mereka selalu ikut ambil bagian dalam ritus adat
sehingga bahasa ibu sudah mendarahdaging yang sangat sulit mereka abaikan.
Ketimbang kaum terpelajar, yang cendrung menganggap bahasa ibu itu, kuno,
primitif, dan kolot serta tidak mengikuti kemajuan. Yang mendasari pemikiran
mereka adalah kegengsian, dan modern serta duit. Mereka mendudukan dirinya lebih
tinggi, lebih bergensi, dan mengais banyak duit. Ini menunjukkan bahwa bahasa
ibu hanya bisa dipakai oleh masyarakat kecil. Akan dilanjutkan……….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar