1. Pendahuluan
Bangsa
indonesia terdiri atas ratusan etnik yang berbeda-beda. Masing-masing etnik
memiliki karakter yang berbeda pula. Perbedaan etnik tersebut berimplikasi pada
kebervariasian/keberagaman bahasa yang digunakan oleh masing-masing etnik. Seperti
yang dinyatakan Chambers (1980:74), in many communities, different ethinic
groups speak different langguage. Dalam berkomunikasi sehari-hari
masing-masing etnik menggunakan bahasa daerah (bahasa ibu) yang berbeda. Lalu, pemakaian
Bahasa Indonesia juga cenderung bervariasi antar etnik misalnya Etnik Jawa agak
berbeda dengan etnik-etnik lain yang ada di Indonesia. Selain itu, pemakaian
bahasa Indonesia masing-masing etnik juga memiliki variasi berdasarkan peristiwa tutur dan situasi tutur. Pemakaian bahasa Indonesia seperti di pasar agak
berbeda dengan pemakaian bahasa di Kantor, di sekolah dan di tokoh. Begitu pula
pemakaian bahasa bagi anak-anak agak berbeda dengan teman sebaya, orang dewasa,
dan orang tua serta kakek-nenek. Kemudian, pemakaian bahasa kepada leluhur agak
berbeda dengan pemakaian bahasa kepada Tuhan. Dengan kata lain, pemakaian
bahasa cenderung berbeda tergantung pada aras
tutur dan laras tuturnya.
Variasi
pemakaian bahasa tersebut akan berpengaruh pada internal bahasa (unit-unit
lingusitik) itu sendiri yaitu adanya variasi fonologis, fonetis, dan struktur
sintaksis. Secara fonetis misalnya, mengenal vokal panjang, vokal tegang dan
kendur, peluncuran semivokal, diftongisasi, dan suprasegmental yang bervariasi.
Kemudian, secara fonologi misalnya adanya variasi fonem seperti ada sebagian
komunitas tidak mengenal bunyi vokal tengah [] seperti etnik Timor kecuali [e], dan etnik Bali tidak
mengenal bunyi konsonan [p] [f] kecuali [v]. Demikian pula secara sintaksis
misalnya etnik Timor: Lu pi mana?;
etnik Flores: Kamu pigi ke mana?;
etnik Bajo: Ke mana mi pergi?. Kebervariasian
pemakaian bahasa tersebut mencerminkan identitas etniknya (ethnic identity), dan etnisitaslah yang menjadi key point terjadinya variasi bahasa
tersebut.
Etnisitas
merupakan objek kajian etnografi. Etnografi merupakan bagian dari cabang ilmu
antroplogi budaya yang mempelajari berbagai kebudayaan
suatu masyarakat berupa
aktivitas nyata masyarakat. Secara
khusus etnografi adalah ilmu yang mempelajari tentang pendeskripsian
kebudayaan suku-suku bangsa (etnik) yang hidup tersebar di muka bumi. Kemudian,
etnografi komunikasi yaitu
bidang ilmu etnolinguistik atau sosiolinguistik tentang bahasa dalam
hubungannya dengan semua variabel di luar bahasa. Yang dimaksud dengan variabel
di luar bahasa tersebut adalah kebudayaan etnisitas dan faktor sosial lainya.
Faktor-faktor sosial itu, mencakupi status sosial, tingkat pendidikan, umur,
tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Selain itu bentuk bahasanya
dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya: siapa yang berbicara, bagaimana
bentuk bahasanya, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa.
Faktor-faktor situasional seperti itu sejalan dengan rumusan Fishman seorang
linguis yang khusus meneliti bahasa yaitu : Who speaks what language to whom
and when (dalam Pride and Holmes, 1979:15; Suwito, 1985: 3). Faktor situasi
komunikasi tersebut Dell Hymes (1962), memberikan akronim SPEAKING.
Istilah etnography
of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan sosiolog
yang kemudian menjadi pakar linguistik Amerika, Dell Hymes. Pendekatan etnography
of speaking pertama kali dikemukakan oleh Dell Hymes dalam sejumlah serial
artikel yang ditulis pada tahun 1960-an dan 1970-an. Kemudian, Istilah itu
diubah oleh penulisnya menjadi etnography of communication, karena
istilah ini dianggap lebih tepat dan semakin populer akhir-akhir ini. Dalam
konteks ini, Hymes membuat hubungan secara eksplisit antara bahasa dan
kebudayaan, Hymes tampaknya tidak memperhitungkan fenonema mental yakni kognisi
sebagai perhatian utama. Hymes (1971:340) membicarakan tuturan sebagai suatu
sistem perilaku budaya, namun dia sendiri tidak mengikuti studi bahasa dan
kebudayaan sebagai psikologi atau kognisi. Sebaliknya dia menekankan pentingnya
studi tindak tutur, wacana dan performansi seperti penciptaan bentuk-bentuk
puitis yang semuanya diletakan dalam konteks sosial.
2. Konsep Dasar dan
Kerangka Teori
2.1 Konsep
Dasar
2.1.1 Variasi
bahasa
Variasi
pemakaian bahasa tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yaitu pertama, etnisitas. Etnisitas yang dimaksudkan adalah
bertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang
mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa. Menurut
Fought (2006), ada sejumlah sumber daya linguistik (linguistics resourches)
yang dimiliki oleh multiethnic communities. Misalnya: bahasa standar (standardization language), variasi
regional (regional varieties), alih
kode (code-switching). Dalam kaitannya
dengan bahasa dan etnisitas, ada beberapa hal yang sangat penting dalam
membentuk ethnicity identity, di
antaranya sebagai berikut: pertama, A heritage language. Focus
pembicaranya mengenai identitas etnik.
Identitas etnik berperan penting dalam membedakan kelompok etnik dan kebanggaan
atau rasa harga diri etnik itu sendiri. Kedua,
Specific
linguistic features. Linguistic
features termasuk keberagaman merupakan elemen kunci dalam mereproduksi
identitas etnik (ethnic identity) dan aspek identitas lainya seperti gender, dan social class. Aspek yang menarik dalam ethnicity dan language
adalah adanya perbedaan jenis variabel yang dilihat misalnya: fonetik,
sintaksis atau leksikal. Ketiga, Suprasegmental
features. Terhadap keberagaman etnik, suprasegmental featureas
merupakan bagian dari etnic identity. Menurut Fought dan Fought (2002) syllable
timing merupakan faktor penting dalam bahasa Inggris yang digunakan oleh
penutur Mexican-American di Los Angeles. Green (2002:124) menambahkan, sebagian
penutur Mexican-American menggunakan dialek standar bahkan pola intonasi yang
menampakkan ethnisitas mereka. Keempat, Using a borrowed variety. Melalui borrowed variety, saya maksudkan sebuah code yang semula dari luar ethnic
group, tetapi pantas bagi
individu atau komunitas untuk
menggunakan code tersebut. Melalui
proses difusi, inovasi leksikal, konvergensi (kontak bahasa). Kedua, faktor sosial. Faktor sosial
tersebut di antaranya: status sosial,
umur, gender, style, pendidikan, dan ekonomi.
2.1.2 Tata
cara bertutur
Tata cara bertutur (ways
of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam suatu komunitas
mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif seseorang
mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu kepada hubungan
antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya, di satu pihak, dengan kemampuan
dan peran seseorang, konteks dan institusi, serta kepercayaan, nilai, dan
sikap, di lain pihak.
2.1.3 Komunitas
tutur
Batasan
paling sederhana tentang komunitas tutur dikemukakan oleh Lyons (1970), Speech
community is all the people who use a given language (or dialect).”
(komunitas tutur adalah semua orang yang memakai suatu bahasa atau dialek
tertentu). Menurut batasan ini, komunitas tutur dapat saja bertumpang
tindih (jika ada para dwibahasawan) dan tidak perlu kesatuan sosial (social unit) atau kesatuan kultural (cultural unit) jelasnya. Hymes (1972: 54)
berpendapat bahwa speech community is
the "one starts with a social group and considers all the linguistic
varieties present in it, rather than starting with any one variety". "Tentatively,
a speech community is defined as a community sharing rules for the
conduct and interpretation of speech, and rules for the interpretation of at
least one linguistic variety. Both conditions are necessary." It's
not the frequency of interaction but rather definition of situations in which
interaction occurs that is decisive, particularly identification (or lack of it
with others). See Burke (1950) especially, but also Gumperz, Labov, Barth.
Perbedaan
mendasar antara satu komunitas dengan komunitas lainnya dalam hal komunikasi
lisan, turut membangun kaidah-kaidah bahasa. Selain itu, prinsip dasar
etnografi komunikasi juga memerikan perbedaan aturan berbicara (rule of speaking), misalnya kapan harus
berbicara dan kapan harus diam (lih. Fasold, 1990: 40). Rules of speaking is "The ways in which speakers associate
particular modes of speaking, topics or message forms, with particular settings
and activities" (Gumperz 1972: 36). Aturan berbicara ini bisa sangat
berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Kebanyakan Orang
Amerika Kulit Putih Kelas Menengah mematuhi kaidah pergantian percakapan “no
gap, no overlap” (tidak ada kesenyapan, tidak ada tumpang tindih) (Schegloff,
1972). Dalam sebuah percakapan, mereka berbicara saling bergantian agar tidak
tumpang tindih. Jika yang satu berbicara, yang lain mendengarkan. Kaidah
percakapan ini disebut “no overlap.” Sebaliknya, jika keduanya diam lebih dari
beberapa detik, mereka justru tidak merasa nyaman. Seseorang akan
mengisinya dengan percakapan yang tidak penting agar “tidak ada gap” dalam
komunikasi tersebut. Reisman (1974) menemukan kaidah yang berbeda pada
masyarakat Antigua. Mereka cenderung berbicara saling tumpang tindih. Yang satu
berbicara yang lain menimpali pada saat yang sama. Dengan cara ini, mereka tidak
mengikuti kaidah percakapan yang “no overlap.” Saville-Troike (1982)
melaporkan bahwa orang Indian Amerika justru biasa menunggu beberapa
menit sebelum seseorang menjawab pertanyaan atau mengambil alih pembicaraan.
Demikian pula halnya dengan masyarakat Lapp di Swedia Bagian Utara tempat
Reisman (1974: 112) tinggal. Gap percakapan sudah menjadi bagian dari
cara berbicara mereka.
2.1.4 Situasi,
peristiwa tutur dan tindak tutur
Untuk mengkaji kebiasaan komunikasi di dalam suatu
komunitas tutur, kita harus mengamati unit-unit interaksi, yaitu situasi tutur
(speech situation), peristiwa
tutur (speech event), dan tindak tutur (speech act). Tindak tutur
merupakan bagian dari peristiwa tutur, dan peristiwa tutur menjadi bagian dari
situasi tutur. Situasi tutur adalah situasi yang dikaitkan dengan tuturan. In
a sociolinguistic description, then, it is necessary to deal with activities
which are in some recognizable way bounded or integral" (Hymes 1972: 56). Peristiwa tutur berciri komunikatif dan
terikat dengan aturan cara bertutur. Peristiwa tutur dapat terdiri atas satu
atau lebih tindak tutur. "The term speech event will be
restricted to activities, or aspects of activities, that are directly governed
by rules or norms for the use of speech. An event may consist of a single
speech act, but will often comprise several" (Hymes 1972: 56). Dimungkinkan
pula suatu tindak tutur sekaligus mencakup peristiwa tutur dan situasi
tutur, misalnya tindak tutur berdoa. Tindak tutur merupakan tataran
yang sederhana dan rumit, karena kedudukannya di dalam komunikasi merupakan
jenjang terendah, namun rumit sebab berkaitan dengan pragmatik. Hymes
berpendapat bahwa tindak tutur dipengaruhi oleh konteks sosial, bentuk
gramatikal, dan intonasi. A party=speech situation, A
conversation during the party=speech event, A joke in the conversation=speech a
event.
2.1.5 Komponen
tutur
Among the Abipon of
Argentina, -in is added to the end of each word if any participant is a
member of the warrior class. Among Wishram Chinook, formality is determined by
the relationship to a source (chief/sponsor of ceremony/spirits) even if they
aren't present. Male and female actors in Yana myths use men's and women's
forms of speech, regardless of the narrator's sex. We've
long had a division between speaker, hearer, and thing spoken about.
"Various of these models have proven productive, but their productivity
has depended upon not taking them literally, let alone using the
precisely" (Hymes 1972: 58)
2.1.6 Nilai
dibalik tutur
Di dalam suatu
peristiwa komunikasi tentu memiliki
kaidah-kaidah tersendiri, dan yang menentukan kaidah tersebut adalah komunitas
tutur. Selanjutnya, kaidah-kaidah tersebut mencerminkan nilai-nilai
sosial-budaya komunitas tutur.
2.2 Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam kajian ini
adalah teori etnografi komunikasi yang dikembangkan oleh Del Hymes. Suatu
asumsi bahwa Bahasa dan situasi merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Setiap ujaran selalu dikaitkan dengan situasi. Ihwal ini, kemudian Dell
Hymes (1972a:58—71) membedakan delapan unsur situasi bahasa yakni 1) setting,
2) participant, 3) ends, 4) Act, 5) key, 6) Instrumental, 7) Norms, 8) Genre.
Kedelapan unsur tersebut diakronimkan menjadi SPEAKING.
1. Setting
Setting didefinisikan sebagai waktu dan
tempat peristiwa ujaran (Gumperz & Hymes, 1972a:60). Setting berkaitan dengan lingkungan fisik komunikasi yang berkaitan
dengan waktu dan tempat. Situasi waktu misalnya pagi hari, siang hari, sore
hari, dan malam hari. Kemudian, tempat berkaitan dengan situasi formal misalnya kantor, dan situasi informal misalnya rumah, jalan,atau tempat-tempat umum. Setting ini akan berimplikasi pada bahasa yang
digunakan.
2. Partisipants
Peran
partisipan dalam peristiwa ujaran sangat penting. (Chaundron, 1988:132-133;
Numan, 1999:75; Thornbury, 1996:281-2). Partisipan memiliki peran yang utama
dalam peristiwa komunikasi. Partisipan berkaitan dengan speaker, dan hearer serta
referensi. Ketiga partisipan tersebut faktor kunci dalam peristiwa komunikasi.
3. End
(tujuan pembicaraan)
4. Act (bentuk dan isi ujaran)/(urutan
tindakan)
5.
Key
(atmosfer dari suatu peristiwa pembicaraan yang dimunculkan dalam bentuk
verbal dan non verbal atau kombinasi (Coulthard, 1985:48-49). Hal karena faktor
budaya pembicara
6.
Instrument (channel) : berupa
oral, tertulis, dan media lainnya.
7.
Norms (massage form) berupa etika
atau kesantunan
8.
Genre (massage content) yang
mengacu pada topik dan perubahan topik (Gumperz & Hymes, 1972:60). Yang
dimaksud dengan Genre adalah teks yang dipakai pada ranah-ranah tertentu
misalnya: ranah politik, ranah
pendidikan, ranah ekonomi dll.
3.
Pembahasan
Teks
tuturan berikut ini merupakan bentuk dinamika tutur komunitas Timor dalam
mengungkapkan perasaan cinta seorang pemuda yang bernama Anis kepada seorang
gadis bernama Bunga yang sudah mempunyai pacar. Anis mengungkapkan perasaan
cintanya dengan menggunakan bahasa Indonesia Timor Halus (BITH) yang
diakhiri BITK sedangkan bentuk penolakan
Bunga menggunakan bahasa Indonesia Timor Kasar (BITK). Ihwal tersebut akan
tampak pada bentuk dinamika tutur dalam teks berikut ini.
Teks tuturan
Anis : Bunga, Bunga oe,
Bunga : Ya Anis.
Anis : Be bisa perlu dengan lu ko?
Sebentar sa, sebentar sa
Bunga : Perlu apa lai lu ni?
Anis
: Sebentar sa, sebentar sa
Bunga e please!
Bunga : Kenapa? Kenapa? Kenapa? Oh omong
cepat su!
Anis : Tapi jangan di sini Bunga.
Bunga : Mau pi mana lai?
Anis : Di belakang sekolah sa.
Bunga : Sorry Anis, di sini sa be takut ma!
Anis : Nah, Oh baik su biar di sini sa.
Bunga : Ada apa? Kenapa? Sapa? Bagaimana? Sapa
yang suru?
Anis : Bunga! Be ra…sa. Begini Bunga
sebenarnya…sebenarnya…sebenarnya.
Bunga : Sebenarnya ada apa Anis jangan buat
be gugup do!
Anis :
Sebenarnya..sebenarnya be pendam rasa dengan lu, su sepuluh tahun na, su lama be pendam rasa dengan lu.
Bunga : Oh lu panggil beta mau omong ini ni!
Tidak mungkin Anis, be su ada nyong!
Anis : Sapa? Sapa? Bunga tolong hargai
beta do!
Bunga : Namanya…namanya Doroteus. Sonde bisa
Anis! Lu su terlambat na.
Anis : Bunga! tolong hargai beta, be jadikan lu be punya nona!
Bunga : Anis! tolong hargai beta Anis, be su
punya nyong!
Anis : Bunga!
Bunga : Anis!
Anis : Bunga!
Bunga : Anis!
Sumber: teks rekaman.
Dari teks tersebut, dibuat klasifikasi berdasarkan
BITH dan BITK. Ihwal ini dapat dilihat pada tabel dinamika tutur berikut ini.
Klasifikasi BITH dan BITK berdasarkan kaidah tutur (rules of speaking) dan Specific
linguistic features serta Suprasegmental
features. Menurut Gumperz
(1972: 36), Rules of speaking is the ways in which speakers associate
particular modes of speaking, topics or message forms, with particular settings
and activities. Kaidah tutur tersebut Hymes merumuskan dalam akronim
SPEAKING. Situasi tutur dalam teks tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan
kaidah SPEAKING. Namun dalam kajian ini hanya menganalisis teks tutur dari
aspek Norma.
Tabel Dinamika Tutur
Anis
menggunakan
Bahasa
Indonesia Timor Halus (BITH)
|
Bunga
menggunakan
Bahasa
Indonesia Timor Kasar (BITK)
|
Be bisa
perlu dengan lu ko? Sebentar sa, sebentar sa
|
Perlu apa lai lu ni?
|
Sebentar sa, sebentar sa Bunga e
please!
|
Kenapa? Kenapa? Kenapa? Na, oh omong
cepat su!
|
Tapi jangan di sini Bunga.
|
Mau pi mana lai?
|
Di belakang sekolah sa.
|
Sorry Anis, di sini sa be takut ma!
|
Nah, Oh baik su biar di sini sa
|
Ada
apa? Kenapa? Sapa? Bagaimana? Sapa yang suru?
|
Bunga! Be ra…sa. Begini Bunga
sebenarnya…sebenarnya…sebenarnya.
|
Sebenarnya ada apa Anis jangan buat be
gugup do!
|
Sebenarnya..sebenarnya be pendam rasa
dengan lu, su sepuluh tahun na, su lama. Be pendam rasa dengan lu.
|
Oh
lu panggil beta mau omong ini ni! Tidak mungkin Anis, be su ada nyong!
|
Sapa? Sapa? Bunga tolong hargai beta
do!
|
Namanya…namanya
Doroteus. Sonde bisa Anis! Lu su terlambat na.
|
Anis menggunakan BITK
|
|
Bunga! tolong hargai beta, be jadikan lu be punya nona!
|
Anis! tolong hargai beta Anis, be su
punya nyong!
|
Bunga!
|
Anis!
|
Kaidah tutur dalam dinamika tutur di atas
adalah sebagai berikut:
1) Norma (massage
form)
Situasi tutur seorang pemuda yang bernama Anis
dengan seorang gadis yang bernama Bunga dalam teks lisan di atas yaitu situasi
informal. Keduanya sama-sama berasal dari satu komunitas tutur, yaitu etnis
Timor. Ada beberapa hal yang menarik dari teks tersebut jika dilihat dari sudut
pandang norma (massage form)
berupa etika atau kesantunan sebuah tutur dalam suatu peristiwa
tutur. Bentuk ungkapan perasaan Anis kepada Bunga dengan menggunakan bahasa
Indonesia Timor Halus misalnya: Be bisa perlu
dengan lu ko? Sebentar sa, sebentar sa. Lalu Bunga menjawabnya dengan
menggunakan BITK : Perlu apa lai lu ni? Anis
kembali memohon kepada Bunga dengan menggunakan BITH: Sebentar sa, sebentar sa Bunga e please! Kemudian Bunga menerima
ajakannya, tetapi Bunga menggunakan BITK: Kenapa?
Kenapa? Kenapa? Na, oh omong cepat su! Sebelum Anis menyatakan perasaan
cintanya kepada Bunga, Bunga langsung memotong pembicaraan: Ada apa? Kenapa? Siapa? Bagaimana? Siapa
yang suru? Anis kemudian membentaknya dengan menyebut nama Bunga dengan
intonasi tinggi: Bunga! Saat itu Bunga langsung diam sambil memberikan
kesempatan kepada Anis untuk menyatakan sesuatu. Ketika Bunga mengetahui Anis
mencintainya maka dengan tegas Bunga menolak: Oh lu panggil beta mau omong ini ni! Tidak mungkin Anis, be su ada
nyong! Setelah Bunga menolak
cintanya kemudian Anis berbalik menggunakan BITK: Bunga! tolong hargai beta, be jadikan lu be punya nona! Bunga juga
membalasnya dengan BITK: Anis! tolong hargai beta Anis, be su punya nyong!. Selanjutnya
komunikasi tersebut diakhiri dengan bentak-membentak: Anis membentaknya: Bunga!
Kemudian Bunga membalasnya dengan bentak pula: Anis!
Dinamika tutur tersebut Anis awalnya
lebih sopan atau beretika dalam mengungkapkan perasaanya. Ia mengungkapkan
dengan intonasi yang rendah agar tetap terjaga etika tutur. Akan tetapi bagi
Bunga tidak mencermati ujaran itu dari unsur kesopanan melainkan faktor
emosional. Bunga menolaknya dengan menggunakan BITK karena ia tidak memiliki
perasaan cinta terhadap Anis. Bentuk penolakan Bunga tercermin dalam pemakaian
kata, dan intonasi saat bertutur. Sejak awal bertutur Bunga selalu menggunakan
BITK bahkan terjadi over lap. Bunga
sering mendominasi pembicaraan. Ia tidak membiarkan Anis berbicara sampai
selesai atau secara bergantian tanpa ada over
lap.
2) Specific linguistic features
Penutur Bahasa Indonesia etnis
Timor memiliki fitur linguistik khusus yang membedakan penutur etnis lain.
Fitur-fitur tersebut di antaranya dalam bentuk:
a. Fonetik
Secara fonetik sebagian besar fonem
vokal tengah [] berubah
menjadi fonem vokal tinggi depan [i] pada lingkungan tertentu, dan [e] pada
lingkungan tertentu pula.
Misalnya:
Mau
pi mana lai? (Mau pergi ke mana
lagi)
Bentuk pi berasal dari bentuk pergi
dan lai dari bentuk lae.
b. Penghilangan
sebagian suku kata
Bentuk khas penutur bahasa
Indonesia bagi komunitas Timor terjadi penghilangan sebagian suku kata baik
pada pronominal persona, kata sapaan, kata tugas, partikel-partikel maupun pada
verba.
Misalnya:
Be(saya) bisa perlu dengan lu(Anda) ko?
Sebentar sa(saja), sebentar sa (saja).
Sapa?(siapa) Sapa? Bunga
tolong hargai beta do(dahulu)!
Nah, Oh baik sudah biar
di sini saja
Mau pi (pergi) mana lai (lagi)?
3) Suprasegmental features
Fitur
suprasegmental penutur bahasa Indonesia komunitas Timor juga memiliki kekhasan
tersendiri yang membedakan penutur bahasa Indonesia komunitas yang lain terutama pada syllabic timing. Misalnya kata sonde
(tidak) memiliki variasi soùnde,
so>nde, sonde>
dengan makna tidak berubah. Bunyi vokal [o]
dan [e] dalam BIT berubah menjadi durasi panjang seperti [où] dan [eù] pada lingkungan tertentu. Setiap
suku mengalami intonasi naik dan intonasi turun. Ihwal ini yang merupakan
kekhasan penutur BIT. BITH dan BITK tidak hanya tergantung pada pemilihan kata
tetapi juga pada fitur suprasegmental seperti durasi, intonasi, dan syllabic timing.
4.
Penutup
Etnis merupakan key point terjadinya variasi bahasa pada
suatu peristiwa tutur. Etnisitas pula akan melahirkan kaidah tutur (rules of sepeaking). Kaidah tutur
tersebut meliputi norma (massage form),
specific linguistic features, dan suprasegmental features. Dalam peristiwa
tindak tutur seperti dalam tabel dinamika tutur di atas menunjukkan Bahasa
Indonesia Timor Halus (BITH) dan Bahasa Indonesia Timor Kasar (BITK). Dinamika
tutur tersebut mengindikasikan bahwa laki-laki cenderung menggunakan BITH
sedangkan kaum perempuan cenderung
menggunakan BITK. Kesimpulan ini bersifat sementara karena dinamika tutur
tersebut belum diuji pada konteks lain. Ini hanya sebuah fenomena yang perlu
dikaji secara mendalam bagi siapa yang merasa tertarik dengan masalah etnografi
komunikasi.
Bibliografi
Labov, William. 2001. Principles
of Linguistic Change Social Factor.
Fasold,
Ralph. 1990. The Sociolinguistic of Language. Blackwell Publisher Ltd 108 Cowley Road .Oxford OX4.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction To Sociolinguistics.:
Learning about Language.
Hudson,
R.A. 2001. Sociolinguistic. Second Edition. Cambridge Textbooks in
Linguistics.
Hymes,
D. 1972. Models of The Interaction of
Language and Social Life. In J. Gumperz & D. Hymes (Eds.), Directions
in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication. New York: Holt,
Rinehart, Winston.
Hymes, Dell. 1986. Foundations
In Sociolinguistics: An Ethnographic Approach.
Mesthrie, Rajend. Joan Swann. Andrea Deumert dan
William L Leap. 2000. Introducing Sociolinguistics. Edinburgh University
Press.
Oetomo,
Dede. 2000. Sosiolinguistik: Dinamika Bahasa Melayu –Indonesia Kolonial dan
Pascakolonial.
Saville,
Muriel. Troike. 2003. The Ethnography of Communication: An Introduction. Third
Edition. Blackwell Publishing.
Wardhaugh, Ronald. 2002. An Introduction To Sociolinguistics. Fourth Edition.
trims artikel yg bermanfaat. kebetulan sedang ada tugas tentang etnografi komunikasi
BalasHapus