Senin, 30 Januari 2012

ETNOGRAFI KOMUNIKASI


1.   Pendahuluan
Bangsa indonesia terdiri atas ratusan etnik yang berbeda-beda. Masing-masing etnik memiliki karakter yang berbeda pula. Perbedaan etnik tersebut berimplikasi pada kebervariasian/keberagaman bahasa yang digunakan oleh masing-masing etnik. Seperti yang dinyatakan Chambers (1980:74), in many communities, different ethinic groups speak different langguage. Dalam berkomunikasi sehari-hari masing-masing etnik menggunakan bahasa daerah (bahasa ibu) yang berbeda. Lalu, pemakaian Bahasa Indonesia juga cenderung bervariasi antar etnik misalnya Etnik Jawa agak berbeda dengan etnik-etnik lain yang ada di Indonesia. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia masing-masing etnik juga memiliki variasi berdasarkan peristiwa tutur dan situasi tutur. Pemakaian bahasa Indonesia seperti di pasar agak berbeda dengan pemakaian bahasa di Kantor, di sekolah dan di tokoh. Begitu pula pemakaian bahasa bagi anak-anak agak berbeda dengan teman sebaya, orang dewasa, dan orang tua serta kakek-nenek. Kemudian, pemakaian bahasa kepada leluhur agak berbeda dengan pemakaian bahasa kepada Tuhan. Dengan kata lain, pemakaian bahasa cenderung berbeda tergantung pada aras tutur dan laras tuturnya.
Variasi pemakaian bahasa tersebut akan berpengaruh pada internal bahasa (unit-unit lingusitik) itu sendiri yaitu adanya variasi fonologis, fonetis, dan struktur sintaksis. Secara fonetis misalnya, mengenal vokal panjang, vokal tegang dan kendur, peluncuran semivokal, diftongisasi, dan suprasegmental yang bervariasi. Kemudian, secara fonologi misalnya adanya variasi fonem seperti ada sebagian komunitas tidak mengenal bunyi vokal tengah [] seperti etnik Timor kecuali [e], dan etnik Bali tidak mengenal bunyi konsonan [p] [f] kecuali [v]. Demikian pula secara sintaksis misalnya etnik Timor: Lu pi mana?; etnik Flores: Kamu pigi ke mana?; etnik Bajo: Ke mana mi pergi?. Kebervariasian pemakaian bahasa tersebut mencerminkan identitas etniknya (ethnic identity), dan etnisitaslah yang menjadi key point terjadinya variasi bahasa tersebut.
Etnisitas merupakan objek kajian etnografi. Etnografi merupakan bagian dari cabang ilmu antroplogi budaya yang mempelajari berbagai kebudayaan suatu masyarakat berupa aktivitas nyata masyarakat. Secara khusus etnografi adalah ilmu yang mempelajari tentang pendeskripsian kebudayaan suku-suku bangsa (etnik) yang hidup tersebar di muka bumi. Kemudian, etnografi komunikasi yaitu bidang ilmu etnolinguistik atau sosiolinguistik tentang bahasa dalam hubungannya dengan semua variabel di luar bahasa. Yang dimaksud dengan variabel di luar bahasa tersebut adalah kebudayaan etnisitas dan faktor sosial lainya. Faktor-faktor sosial itu, mencakupi status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Selain itu bentuk bahasanya dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya: siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa. Faktor-faktor situasional seperti itu sejalan dengan rumusan Fishman seorang linguis yang khusus meneliti bahasa yaitu : Who speaks what language to whom and when (dalam Pride and Holmes, 1979:15; Suwito, 1985: 3). Faktor situasi komunikasi tersebut Dell Hymes (1962), memberikan akronim SPEAKING.
Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan sosiolog yang kemudian menjadi pakar linguistik Amerika, Dell Hymes. Pendekatan etnography of speaking pertama kali dikemukakan oleh Dell Hymes dalam sejumlah serial artikel yang ditulis pada tahun 1960-an dan 1970-an. Kemudian, Istilah itu diubah oleh penulisnya menjadi etnography of communication, karena istilah ini dianggap lebih tepat dan semakin populer akhir-akhir ini. Dalam konteks ini, Hymes membuat hubungan secara eksplisit antara bahasa dan kebudayaan, Hymes tampaknya tidak memperhitungkan fenonema mental yakni kognisi sebagai perhatian utama. Hymes (1971:340) membicarakan tuturan sebagai suatu sistem perilaku budaya, namun dia sendiri tidak mengikuti studi bahasa dan kebudayaan sebagai psikologi atau kognisi. Sebaliknya dia menekankan pentingnya studi tindak tutur, wacana dan performansi seperti penciptaan bentuk-bentuk puitis yang semuanya diletakan dalam konteks sosial.

2. Konsep Dasar dan Kerangka Teori
2.1  Konsep Dasar
2.1.1  Variasi bahasa
Variasi pemakaian bahasa tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu pertama, etnisitas. Etnisitas yang dimaksudkan adalah bertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa. Menurut Fought (2006), ada sejumlah sumber daya linguistik (linguistics resourches) yang dimiliki oleh multiethnic communities. Misalnya: bahasa standar (standardization language), variasi regional (regional varieties), alih kode (code-switching). Dalam kaitannya dengan bahasa dan etnisitas, ada beberapa hal yang sangat penting dalam membentuk  ethnicity identity, di antaranya sebagai berikut: pertama,          A heritage language. Focus pembicaranya  mengenai identitas etnik. Identitas etnik berperan penting dalam membedakan kelompok etnik dan kebanggaan atau rasa harga diri etnik itu sendiri. Kedua, Specific linguistic features. Linguistic features termasuk keberagaman merupakan elemen kunci dalam mereproduksi identitas etnik (ethnic identity) dan aspek identitas lainya seperti gender, dan social class. Aspek yang menarik dalam ethnicity dan language adalah adanya perbedaan jenis variabel yang dilihat misalnya: fonetik, sintaksis atau leksikal. Ketiga, Suprasegmental features. Terhadap keberagaman etnik, suprasegmental featureas merupakan bagian dari etnic identity. Menurut Fought dan Fought (2002) syllable timing merupakan faktor penting dalam bahasa Inggris yang digunakan oleh penutur Mexican-American di Los Angeles. Green (2002:124) menambahkan, sebagian penutur Mexican-American menggunakan dialek standar bahkan pola intonasi yang menampakkan  ethnisitas mereka. Keempat, Using a borrowed variety. Melalui borrowed variety, saya maksudkan sebuah code yang semula dari luar ethnic group, tetapi pantas  bagi individu  atau komunitas untuk menggunakan code tersebut. Melalui proses difusi, inovasi leksikal, konvergensi (kontak bahasa). Kedua, faktor sosial. Faktor sosial tersebut di antaranya: status sosial, umur, gender, style, pendidikan, dan ekonomi.
2.1.2  Tata cara bertutur
Tata cara bertutur (ways of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu kepada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya, di satu pihak, dengan kemampuan dan peran seseorang, konteks dan institusi, serta kepercayaan, nilai, dan sikap, di lain pihak.
2.1.3  Komunitas tutur
Batasan paling sederhana tentang komunitas tutur dikemukakan oleh Lyons (1970), Speech community is all the people who use a given language (or dialect).” (komunitas tutur adalah semua orang yang memakai suatu bahasa atau dialek tertentu). Menurut batasan ini, komunitas tutur dapat saja bertumpang tindih (jika ada para dwibahasawan) dan tidak perlu kesatuan sosial (social unit) atau kesatuan kultural (cultural unit) jelasnya. Hymes (1972: 54) berpendapat bahwa speech community is the "one starts with a social group and considers all the linguistic varieties present in it, rather than starting with any one variety". "Tentatively, a speech community is defined as a community sharing rules for the conduct and interpretation of speech, and rules for the interpretation of at least one linguistic variety. Both conditions are necessary." It's not the frequency of interaction but rather definition of situations in which interaction occurs that is decisive, particularly identification (or lack of it with others). See Burke (1950) especially, but also Gumperz, Labov, Barth.
Perbedaan mendasar antara satu komunitas dengan komunitas lainnya dalam hal komunikasi lisan, turut membangun kaidah-kaidah bahasa. Selain itu, prinsip dasar etnografi komunikasi juga memerikan perbedaan aturan berbicara (rule of speaking), misalnya kapan harus berbicara dan kapan harus diam (lih. Fasold, 1990: 40). Rules of speaking is "The ways in which speakers associate particular modes of speaking, topics or message forms, with particular settings and activities" (Gumperz 1972: 36). Aturan berbicara ini bisa sangat berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Kebanyakan Orang Amerika Kulit Putih Kelas Menengah mematuhi kaidah pergantian percakapan “no gap, no overlap” (tidak ada kesenyapan, tidak ada tumpang tindih) (Schegloff, 1972). Dalam sebuah percakapan, mereka berbicara saling bergantian agar tidak tumpang tindih. Jika yang satu berbicara, yang lain mendengarkan. Kaidah percakapan ini disebut “no overlap.” Sebaliknya, jika keduanya diam lebih dari beberapa detik,  mereka justru tidak merasa nyaman. Seseorang akan mengisinya dengan percakapan yang tidak penting agar “tidak ada gap” dalam komunikasi tersebut.  Reisman (1974) menemukan kaidah yang berbeda pada masyarakat Antigua. Mereka cenderung berbicara saling tumpang tindih. Yang satu berbicara yang lain menimpali pada saat yang sama. Dengan cara ini, mereka tidak mengikuti kaidah percakapan yang “no overlap.”  Saville-Troike (1982) melaporkan bahwa  orang Indian Amerika justru biasa menunggu beberapa menit sebelum seseorang menjawab pertanyaan atau mengambil alih pembicaraan. Demikian pula halnya dengan masyarakat Lapp di Swedia Bagian Utara tempat Reisman (1974: 112) tinggal.  Gap percakapan sudah menjadi bagian dari cara berbicara mereka.
2.1.4  Situasi, peristiwa  tutur dan tindak tutur
Untuk mengkaji kebiasaan komunikasi di dalam suatu komunitas tutur, kita harus mengamati unit-unit interaksi, yaitu situasi tutur (speech situation),  peristiwa tutur (speech event), dan tindak tutur (speech act). Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur, dan peristiwa tutur menjadi bagian dari situasi tutur. Situasi tutur adalah situasi yang dikaitkan dengan tuturan. In a sociolinguistic description, then, it is necessary to deal with activities which are in some recognizable way bounded or integral" (Hymes 1972: 56). Peristiwa tutur berciri komunikatif dan terikat dengan aturan cara bertutur. Peristiwa tutur dapat terdiri atas satu atau lebih tindak tutur. "The term speech event will be restricted to activities, or aspects of activities, that are directly governed by rules or norms for the use of speech. An event may consist of a single speech act, but will often comprise several" (Hymes 1972: 56). Dimungkinkan pula suatu tindak tutur sekaligus mencakup peristiwa tutur dan situasi tutur, misalnya tindak tutur berdoa. Tindak tutur merupakan tataran yang sederhana dan rumit, karena kedudukannya di dalam komunikasi merupakan jenjang terendah, namun rumit sebab berkaitan dengan pragmatik. Hymes berpendapat bahwa tindak tutur dipengaruhi oleh konteks sosial, bentuk gramatikal, dan intonasi. A party=speech situation, A conversation during the party=speech event, A joke in the conversation=speech a event.
2.1.5  Komponen tutur

Among the Abipon of Argentina, -in is added to the end of each word if any participant is a member of the warrior class. Among Wishram Chinook, formality is determined by the relationship to a source (chief/sponsor of ceremony/spirits) even if they aren't present. Male and female actors in Yana myths use men's and women's forms of speech, regardless of the narrator's sex. We've long had a division between speaker, hearer, and thing spoken about. "Various of these models have proven productive, but their productivity has depended upon not taking them literally, let alone using the precisely" (Hymes 1972: 58)
2.1.6  Nilai dibalik tutur

Di dalam suatu peristiwa komunikasi  tentu memiliki kaidah-kaidah tersendiri, dan yang menentukan kaidah tersebut adalah komunitas tutur. Selanjutnya, kaidah-kaidah tersebut mencerminkan nilai-nilai sosial-budaya komunitas tutur.

2.2  Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam kajian ini adalah teori etnografi komunikasi yang dikembangkan oleh Del Hymes. Suatu asumsi bahwa Bahasa dan situasi merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Setiap ujaran selalu dikaitkan dengan situasi. Ihwal ini, kemudian Dell Hymes (1972a:58—71) membedakan delapan unsur situasi bahasa yakni 1) setting, 2) participant, 3) ends, 4) Act, 5) key, 6) Instrumental, 7) Norms, 8) Genre. Kedelapan unsur tersebut diakronimkan menjadi SPEAKING.



1.      Setting
                 Setting didefinisikan sebagai waktu dan tempat peristiwa ujaran (Gumperz & Hymes, 1972a:60). Setting berkaitan dengan lingkungan fisik komunikasi yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Situasi waktu misalnya pagi hari, siang hari, sore hari, dan malam hari. Kemudian, tempat berkaitan dengan situasi formal misalnya kantor, dan situasi informal misalnya rumah, jalan,atau tempat-tempat umum. Setting ini akan berimplikasi pada bahasa yang digunakan. 
2.    Partisipants
Peran partisipan dalam peristiwa ujaran sangat penting. (Chaundron, 1988:132-133; Numan, 1999:75; Thornbury, 1996:281-2). Partisipan memiliki peran yang utama dalam peristiwa komunikasi. Partisipan berkaitan dengan speaker, dan hearer serta referensi. Ketiga partisipan tersebut faktor kunci dalam peristiwa komunikasi.
3.    End  (tujuan pembicaraan)
4.    Act (bentuk dan isi ujaran)/(urutan tindakan)
5.      Key  (atmosfer dari suatu peristiwa pembicaraan yang dimunculkan dalam bentuk verbal dan non verbal atau kombinasi (Coulthard, 1985:48-49). Hal karena faktor budaya pembicara
6.      Instrument (channel) : berupa oral, tertulis, dan media lainnya.
7.      Norms (massage form) berupa etika atau kesantunan
8.      Genre (massage content) yang mengacu pada topik dan perubahan topik (Gumperz & Hymes, 1972:60). Yang dimaksud dengan Genre adalah teks yang dipakai pada ranah-ranah tertentu misalnya: ranah politik, ranah pendidikan, ranah ekonomi dll.



3.   Pembahasan

Teks tuturan berikut ini merupakan bentuk dinamika tutur komunitas Timor dalam mengungkapkan perasaan cinta seorang pemuda yang bernama Anis kepada seorang gadis bernama Bunga yang sudah mempunyai pacar. Anis mengungkapkan perasaan cintanya dengan menggunakan bahasa Indonesia Timor Halus (BITH) yang diakhiri  BITK sedangkan bentuk penolakan Bunga menggunakan bahasa Indonesia Timor Kasar (BITK). Ihwal tersebut akan tampak pada bentuk dinamika tutur dalam teks berikut ini.
Teks tuturan
Anis            : Bunga, Bunga oe,
Bunga         : Ya Anis.
Anis            : Be bisa perlu dengan lu ko? Sebentar sa, sebentar sa
Bunga         : Perlu apa lai lu ni?
Anis            : Sebentar sa, sebentar sa Bunga e please!
Bunga         : Kenapa? Kenapa? Kenapa? Oh omong cepat su!
Anis            : Tapi jangan di sini Bunga.
Bunga         : Mau pi mana lai?
Anis            : Di belakang sekolah sa.
Bunga         : Sorry Anis, di sini sa be takut ma!
Anis            : Nah, Oh baik su biar di sini sa.
Bunga         : Ada apa? Kenapa? Sapa? Bagaimana? Sapa yang suru?
Anis            : Bunga!  Be ra…sa. Begini Bunga sebenarnya…sebenarnya…sebenarnya.
Bunga         : Sebenarnya ada apa Anis jangan buat be gugup do!
Anis            : Sebenarnya..sebenarnya be pendam rasa dengan lu, su sepuluh tahun na, su       lama be pendam rasa dengan lu.
Bunga         : Oh lu panggil beta mau omong ini ni! Tidak mungkin Anis, be su ada nyong!
Anis            : Sapa? Sapa? Bunga tolong hargai beta do!
Bunga         : Namanya…namanya Doroteus. Sonde bisa Anis! Lu su terlambat na.
Anis            : Bunga! tolong hargai beta, be  jadikan lu be punya nona!
Bunga         : Anis! tolong hargai beta Anis, be su punya nyong!
Anis            : Bunga!
Bunga         : Anis!
Anis            : Bunga!
Bunga         : Anis!

Sumber: teks rekaman.

Dari teks tersebut, dibuat klasifikasi berdasarkan BITH dan BITK. Ihwal ini dapat dilihat pada tabel dinamika tutur berikut ini. Klasifikasi BITH dan BITK berdasarkan kaidah tutur (rules of speaking) dan Specific linguistic features serta Suprasegmental features. Menurut Gumperz (1972: 36), Rules of speaking is the ways in which speakers associate particular modes of speaking, topics or message forms, with particular settings and activities. Kaidah tutur tersebut Hymes merumuskan dalam akronim SPEAKING. Situasi tutur dalam teks tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan kaidah SPEAKING. Namun dalam kajian ini hanya menganalisis teks tutur dari aspek Norma.
Tabel Dinamika Tutur

Anis menggunakan
Bahasa Indonesia Timor Halus (BITH)
Bunga menggunakan
Bahasa Indonesia Timor Kasar (BITK)
Be bisa perlu dengan lu ko? Sebentar sa, sebentar sa
Perlu apa lai lu ni?
Sebentar sa, sebentar sa Bunga e please!
Kenapa? Kenapa? Kenapa? Na, oh omong cepat su!
Tapi jangan di sini Bunga.
Mau pi mana lai?

Di belakang sekolah sa.
Sorry Anis, di sini sa be takut ma!

Nah, Oh baik su biar di sini sa
Ada apa? Kenapa? Sapa? Bagaimana? Sapa yang suru?
Bunga! Be ra…sa. Begini Bunga sebenarnya…sebenarnya…sebenarnya.
Sebenarnya ada apa Anis jangan buat be gugup do!
Sebenarnya..sebenarnya be pendam rasa dengan lu, su sepuluh tahun na, su lama. Be pendam rasa dengan lu.
Oh lu panggil beta mau omong ini ni! Tidak mungkin Anis, be su ada nyong!
Sapa? Sapa? Bunga tolong hargai beta do!
Namanya…namanya Doroteus. Sonde bisa Anis! Lu su terlambat na.
Anis menggunakan BITK

Bunga! tolong hargai beta, be  jadikan lu be punya nona!
Anis! tolong hargai beta Anis, be su punya nyong!
Bunga!
Anis!

 Kaidah tutur dalam dinamika tutur di atas adalah sebagai berikut:
1)      Norma (massage form)
Situasi tutur seorang pemuda yang bernama Anis dengan seorang gadis yang bernama Bunga dalam teks lisan di atas yaitu situasi informal. Keduanya sama-sama berasal dari satu komunitas tutur, yaitu etnis Timor. Ada beberapa hal yang menarik dari teks tersebut jika dilihat dari sudut pandang norma (massage form) berupa etika atau kesantunan sebuah tutur dalam suatu peristiwa tutur. Bentuk ungkapan perasaan Anis kepada Bunga dengan menggunakan bahasa Indonesia Timor Halus misalnya: Be bisa perlu dengan lu ko? Sebentar sa, sebentar sa. Lalu Bunga menjawabnya dengan menggunakan BITK : Perlu apa lai lu ni? Anis kembali memohon kepada Bunga dengan menggunakan BITH: Sebentar sa, sebentar sa Bunga e please! Kemudian Bunga menerima ajakannya, tetapi Bunga menggunakan BITK: Kenapa? Kenapa? Kenapa? Na, oh omong cepat su! Sebelum Anis menyatakan perasaan cintanya kepada Bunga, Bunga langsung memotong pembicaraan: Ada apa? Kenapa? Siapa? Bagaimana? Siapa yang suru? Anis kemudian membentaknya dengan menyebut nama Bunga dengan intonasi tinggi: Bunga! Saat itu Bunga langsung diam sambil memberikan kesempatan kepada Anis untuk menyatakan sesuatu. Ketika Bunga mengetahui Anis mencintainya maka dengan tegas Bunga menolak: Oh lu panggil beta mau omong ini ni! Tidak mungkin Anis, be su ada nyong!  Setelah Bunga menolak cintanya kemudian Anis berbalik menggunakan BITK: Bunga! tolong hargai beta, be  jadikan lu be punya nona! Bunga juga membalasnya dengan BITK: Anis! tolong hargai beta Anis, be su punya nyong!. Selanjutnya komunikasi tersebut diakhiri dengan bentak-membentak: Anis membentaknya: Bunga! Kemudian Bunga membalasnya dengan bentak pula: Anis!
Dinamika tutur tersebut Anis awalnya lebih sopan atau beretika dalam mengungkapkan perasaanya. Ia mengungkapkan dengan intonasi yang rendah agar tetap terjaga etika tutur. Akan tetapi bagi Bunga tidak mencermati ujaran itu dari unsur kesopanan melainkan faktor emosional. Bunga menolaknya dengan menggunakan BITK karena ia tidak memiliki perasaan cinta terhadap Anis. Bentuk penolakan Bunga tercermin dalam pemakaian kata, dan intonasi saat bertutur. Sejak awal bertutur Bunga selalu menggunakan BITK bahkan terjadi over lap. Bunga sering mendominasi pembicaraan. Ia tidak membiarkan Anis berbicara sampai selesai atau secara bergantian tanpa ada over lap.   
2)      Specific linguistic features
Penutur Bahasa Indonesia etnis Timor memiliki fitur linguistik khusus yang membedakan penutur etnis lain. Fitur-fitur tersebut di antaranya dalam bentuk:
a.       Fonetik
Secara fonetik sebagian besar fonem vokal tengah [] berubah menjadi fonem vokal tinggi depan [i] pada lingkungan tertentu, dan [e] pada lingkungan tertentu pula.
Misalnya:
        Mau pi mana lai?  (Mau pergi ke mana lagi)
Bentuk pi berasal dari bentuk pergi dan lai dari bentuk lae.
b.      Penghilangan sebagian suku kata
Bentuk khas penutur bahasa Indonesia bagi komunitas Timor terjadi penghilangan sebagian suku kata baik pada pronominal persona, kata sapaan, kata tugas, partikel-partikel maupun pada verba.



Misalnya:
                        Be(saya) bisa perlu dengan lu(Anda) ko? Sebentar sa(saja), sebentar sa (saja).
                        Sapa?(siapa) Sapa? Bunga tolong hargai beta do(dahulu)!
                        Nah, Oh baik sudah biar di sini saja
                         Mau pi (pergi) mana lai (lagi)?
                       
3)      Suprasegmental features
Fitur suprasegmental penutur bahasa Indonesia komunitas Timor juga memiliki kekhasan tersendiri yang membedakan penutur bahasa Indonesia komunitas yang lain   terutama pada syllabic timing. Misalnya kata sonde (tidak) memiliki variasi soùnde, so>nde, sonde>  dengan makna tidak berubah. Bunyi vokal [o] dan [e] dalam BIT berubah menjadi durasi panjang seperti [où] dan [eù] pada lingkungan tertentu. Setiap suku mengalami intonasi naik dan intonasi turun. Ihwal ini yang merupakan kekhasan penutur BIT. BITH dan BITK tidak hanya tergantung pada pemilihan kata tetapi juga pada fitur suprasegmental seperti durasi, intonasi, dan syllabic timing.
4.   Penutup

Etnis merupakan key point terjadinya variasi bahasa pada suatu peristiwa tutur. Etnisitas pula akan melahirkan kaidah tutur (rules of sepeaking). Kaidah tutur tersebut meliputi norma (massage form), specific linguistic features, dan suprasegmental features. Dalam peristiwa tindak tutur seperti dalam tabel dinamika tutur di atas menunjukkan Bahasa Indonesia Timor Halus (BITH) dan Bahasa Indonesia Timor Kasar (BITK). Dinamika tutur tersebut mengindikasikan bahwa laki-laki cenderung menggunakan BITH sedangkan kaum perempuan  cenderung menggunakan BITK. Kesimpulan ini bersifat sementara karena dinamika tutur tersebut belum diuji pada konteks lain. Ini hanya sebuah fenomena yang perlu dikaji secara mendalam bagi siapa yang merasa tertarik dengan masalah etnografi komunikasi.
Bibliografi

Labov, William. 2001. Principles of Linguistic Change Social Factor.
Fasold, Ralph. 1990. The Sociolinguistic of Language. Blackwell Publisher Ltd 108 Cowley Road .Oxford OX4.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction To Sociolinguistics.: Learning about Language.
Hudson, R.A. 2001. Sociolinguistic. Second Edition. Cambridge Textbooks in Linguistics.
Hymes, D. 1972. Models of The Interaction of Language and Social Life. In J. Gumperz & D. Hymes (Eds.), Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication. New York: Holt, Rinehart, Winston.
Hymes, Dell. 1986. Foundations In Sociolinguistics: An Ethnographic Approach.
Mesthrie,  Rajend. Joan Swann. Andrea Deumert dan William L Leap. 2000. Introducing Sociolinguistics. Edinburgh University Press.
Oetomo, Dede. 2000. Sosiolinguistik: Dinamika Bahasa Melayu –Indonesia Kolonial dan Pascakolonial.
Saville, Muriel. Troike. 2003. The Ethnography of Communication: An Introduction. Third Edition. Blackwell Publishing.
Wardhaugh, Ronald. 2002. An Introduction To Sociolinguistics. Fourth Edition.



1 komentar:

  1. trims artikel yg bermanfaat. kebetulan sedang ada tugas tentang etnografi komunikasi

    BalasHapus