I.
PENDAHULUAN
Suatu kenyataan empirik bahwa pembelajaran bahasa
Inggris sebagai L2, banyak
mengalami kendala bahkan sudah menjadi persoalan klasik bagi siswa di
sekolah. Sejak bahasa Inggris dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan di
Indonesia sebagai L2 sampai
sejauh ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan bagi pembelajar. Bahkan
hampir semua siswa di seluruh pelosok Nusantara ini mengeluh dan merasa sebuah
pelajaran yang membebankan, serta menakutkan. Namun persoalan itu, ibarat makan buah simalakama. Ini sebuah kenyataan
empirik bahkan sudah memfosil dalam benak anak-anak didik kita di Indonesia
secara umum. Lalu pertanyaan kita, apakah bahasa Inggris yang harus di delete dari bumi Indonesia ini. Tentu
saja tidak demikian. Persoalan tersebut akan menantang kita sebagai pendidik
(pengajar) untuk menunjukkan eksistensi kita terhadap strategi apa yang hendak
diciptakan agar dapat menekan image yang telah memfosil tersebut. Oleh karena itu,
makalah ini mencoba mengedepankan mind
set tentang pengajaran bahasa Inggris sebagai pembelajar L2,
walaupun masih sebatas pemahaman awal. Agar kajian makalah ini terarah maka
penulis mengangkat persoalan pengajaran bahasa Inggris terbatas pada satu
ketrampilan (skill) saja yakni
keterampilan menulis. Kemudian focus kajiannya pada anak didik atau
siswa kelas VI SD yang sudah melewati dua tahun pembelajaran bahasa Inggris di
sekolahnya. Karena bagaimanapun mereka selangkah lagi ke jenjang sekolah
menengah. Adapun masalah yang diangkat dapat dirumuskan sebagai berikut, yakni Bagaimanakah
pengajaran menulis bahasa Inggris bagi siswa kelas VI SD sebagai Pembelajar L2?
Adapun tujuannya untuk menjelaskan pendekatan pengajaran bahasa Inggris yang
relevan dengan siswa kelas VI SD sebagai pembelajar L2.
Makalah ini dapat memberikan pemahaman teoretis
tentang keterampilan menulis. Menulis merupakan persoalan yang sangat penting
dalam kehidupan kita. Di samping kita berbicara tentu kita juga menyampaikan
sesuatu maksud secara tertulis. Berkaitan dengan itu, Pontercorvo (1996)
menyatakan bahwa kontruksi awal
pengajaran bahasa adalah Teks (spoken dan writing practice). Namun perhatian
terhadap keterampilan menulis di lingkungan keluarga dan di sekolah belakangan
ini semakin rendah. Keterampilan menulis bukan lagi menjadi suatu hal yang
biasa bagi siswa. Membiasakan siswa dalam aktivitas menulis sebuah langkah awal
pembelajaran bahasa kedua (L2). Pada lingkungan keluarga (informal) Misalnya,
berperan sangat penting dalam mendorong siswa untuk aktivitas menulis. Sejauh
lingkungan tersebut tidak mendukung maka akan berpengaruh terhadap aktivitas
menulis siswa di sekolah. Menurut Pontercorvo (1996) perlu adanya interaksi
antara pertumbuhan kompetensi siswa (children’s growing comptance) dan
intruksional lingkungan (instructional environment) dalam keluarga.
Rupanya kedua keterampilan menulis dan membaca memiliki korelasi yang saling
mendukung yang agak sulit dipisahkan terhadap satu dengan yang lainnya.
Perbedaannya, menulis merupakan proses koginitif (cognitive process)
sedangkan membaca merupakan proses pemahaman (Pontecorvo dan Orsolini,1996).
Dibeberapa Negara di Eropa, Writing tidak hanya dibutuhkan dalam konteks
social, tetapi juga morally dangerous for woman, karena mereka dapat
menggunakannya untuk keperluan menulis surat
cinta atau korespondensi (Petrucci, 1978).
Kemudian diikuti oleh dua keterampilan
lainnya, yakni menyimak dan berbicara. Persoalan menulis memang membutuhkan
suatu keterampilan atau kemampuan apalagi penulisan bahasa Inggris sebagai L2.
Sebab dalam kegiatan menulis L2
banyak aspek (sistem menulis) yang harus diketahui penulis, di antaranya
ejaan, kosakata,struktur kalimat, mengorganisasikan ide secara teratur sehingga
menarik dibaca bagi orang lain.
II.
PEMBAHASAN
Kajian makalah ini berfokus pada persoalan teoretis
mengenai dasar dalam pengembangan menulis
dalam konteks L2 (bahasa kedua). Ada dua hal utama yang perlu
dijelaskan dalam makalah ini adalah
Pertama, menulis yang baik
menggacu pada konsep Rivers (1987) yang menyatakan bahwa penulis yang baik
dapat mengekpresikan pemikiran atau idenya secara jelas dengan memperkecil
tingkat kekeliruan, dan pengembangan menulis mengacu pada beberapa konsep
berikut ini, di antaranya Britton et al (1975:83), menyatakan bahwa
pertumbuhan. Kemampuan menulis seseorang melalui suatu jangka waktu tertentu,
dan selama proses pertumbuhan kemampuan, seorang penulis pemula dari kondisi
normal akan berkembang menjadi penulis
yang cukup matang atau harus melalui sejumlah fase. Raison dan Rivalland (1995) menulis harus melewati fase experimental
writing, early writing, conventional writing, dan proficient writing.
Kedua, pengembangan
kemampuan menulis bahasa kedua (L2) yang menitikberatkan
pada pembelajaran konteks, karakteristik pengembangan menulis pada L2, menulis L1 dan L2 sebagai suatu
keterampilan interkonek yang mengacu pada konsep-konsep berikut di antaranya
Barone (1993) yang mengakui bahwa pembelajaran menulis L2 cukup
kompleks.
Pembelajaran L2 lebih kompleks daripada L1.
Karena pembelajaran L2 harus memahami latar belakang L1
dan konteks social. Peran instruksi dalam pengembangan keterampilan menulis
mengacu pada konsep Gray (1986) dan Hinds (1987) yang menyatakan untuk
meningkatkan dan menyempurnakan keterampilan atau pengetahuan dari L1 ke L2 peran
program bahasa di sekolah umumnya
mendorong pembelajar menulis L2 memanfaatkan akses umum dan
memahami struktur umum yang membedakan
suatu bahasa.
Pengajaran menulis harus dimulai dari lingkungan
keluarga walaupun bersifat informal. Perkembangan yang dimaksudkan adalah
pertumbuhan kemampuan menulis pribadi dalam jangka waktu tertentu. Pembelajaran
informal misalnya, biasanya untuk menambah kemampuan menulis yang didapatkan di
sekolah sebagai pendidikan formal. Karena pembelajaran informal tidak dapat dipisahkan
dari pembelajaran formal.
Pembelajaran menulis melalui jalur formal, memang jauh lebih kompleks misalnya aktivitas
membaca, menulis (merevisi, dan menulis
ulang), mengerjakan tugas, dan dapat berinteraksi dengan teman-teman serta
guru-guru di sekolah. Dalam pembelajaran menulis secara informal bagaimanapun
tidak cukup, kecuali kalau mempunyai latar belakang literasi individu (individual’s
literacy background) dan konteks sosial (social contexts) yang bisa
diterima. Latar belakang literasi (apakah pembelajar telah mempunyai kemampuan
membaca dan menulis dalam L1 dan L2 atau keduanya) dan
konteks sosial (apakah keluarganya atau teman-temannya memberikan dukungan)
yang kuat sehingga dapat menentukan pengembangan literasi seseorang. Pembelajaran
menulis L2 harus mengikuti fase-fase tertentu misalnya
dimulai dari lingkungan keluarga itu sendiri melalui experimental writing,
early writing, conventional writing, dan proficient writing.
Sehingga pengembangan menulis dari pemula menjadi matang. Suatu asumsi bahwa
jika pembelajar mempunyai kemampuan menulis dalam L1 dan L2
atau keduanya dan keluarganya atau teman-temannya memberikan dukungan yang
tinggi) dapat menentukan pengembangan menulis L2 seseorang.
Tulisan ini dapat memberikan kontribusi pemikiran
terhadap pembelajaran menulis L2 terutama dalam memberikan motivasi
bagi para siswa di sekolah. Karena sejauh ini sebagian besar siswa menaruh
perhatian yang begitu tinggi terhadap pembelajaran formal saja seperti di
sekolah. Bahkan menganggap pembelajaran formal merupakan satu-satunya. Sehingga
kemampuan pembelajar menulis L2 cukup rendah. Padahal pembelajaran
informal seperti di rumah, dapat berpengaruh terhadap pengembangan menulis bagi
seorang pembelajar. Pembelajaran menulis L1 dan L2 merupakan keterampilan yang saling
berhubungan (interkonek).
Persoalan pengembangan menulis L2 dalam
makalah ini masih bersifat dasar harus melalui fase-fase tertentu untuk
mengembangkannya. Ikwal menulis, tidak terlepas dari metode-metode pembelajaran
yang menarik bagi anak-anak. Karena yang menjadi persoalan dalam pengembangan menulis L2 bukan hanya pada tahapan-tahapan menulis
seperti experimental writing, early writing, conventional writing, dan proficient
writing seperti yang diungkapkan oleh Raison dan Rivalland (1995)
melainkan metode yang menarik bagi siswa untuk pembelajaran L2. Ikwal
tersebut merupakan persoalan menarik yang harus dikaji. Karena kondisi
riil pembelajaran L2 dalam pendidikan formal akhir-akhir ini
melahirkan pembebanan bagi pembelajar karena yang diajarkan adalah struktur
meluluh apalagi mereka tidak merasa tertarik terhadap L2.
III. PENUTUP
Dalam pengembangan menulis L2 diharapkan
dimulai dari lingkungan keluarga itu sendiri melalui experimental writing,
early writing, conventional writing, dan proficient writing kemudian
dipadukan dengan pengetahuan di sekolah sebagi pendidikan formal. Tidak dapat
dibantah bahwa pengajaran dan pembelajaran formal jauh lebih kompleks daripada
informal. Tetapi keduanya merupakan satu-kesatuan.
BIBLIOGRAFI
Pontercorvo,
Clotilde. Margherita Orsolini. Barbara Burge.
Lauren B.Resnick. 1996. Children’s Early Text Contruction. Lewrence
Erlbaum Associates. Inc.Publishers. Malwah. New Jersey 07430.
Olson,
David R.1996. The World On Paper: The Conceptual and Cognitive Implications
of Writing and Reading. Cambridge
University Press.
Durgunoğlu,
Aydin Yücesan. 2011. Language and Literacy
Development in Bilingual Settings.
Rosenberg,
Sheldon. 1987. Advances In Applied Psycolinguistics. Volume 2 . Reading,
Writing, and Language Learning.
Van
der Hoeven, Jose. 1997. Children’s Composing: A Study Into The
Relationships Between Writing Process, Text quality, and Cognitive and
Linguistics Skills.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar