Bisakah Kita Berbicara Santun ?
(Sebuah
refleksi hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2010)
Oleh
VINSENSIUS GANDE
Sebuah pertanyaan yang sangat
sederhana, jelas, dan mudah dipahami atau dicerna oleh siapapun. Kita semua dengan
mudah memahaminya karena sadar atau tidak, kita sudah pernah menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, di sekolah, di jalan, maupun di
kantor, ataupun di mana saja kita beraktivitas. Sehingga berbicara santun sudah
menjadi milik kita. Jika demikian, muncul pertanyaan mengapa dipersoalkan lagi?
Lalu, apa yang dimaksudkan dengan berbicara santun? Cf.H W. Fowler dan F.G Fowler, (1964:415) dalam
Prof. Dr. I Wayan Jendre, S.U (1999:1) dalam bukunya Etika Berbicara Dalam Sastra Hindu mengatakan bahwa etika berbicara
diartikan sebagai pengetahuan dan nilai tentang baik dan buruk moral berbicara
(berbahasa). Etika juga berbicara tentang kumpulan azas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat. Berbicara yang baik dalam tulisan ini meliputi tiga
pengendalian, yakni tidak suka mencaci
maki, tidak berbicara kasar kepada komunikan dan tidak memfitna.
Pada tanggal 28 Oktober
setiap tahun, dikenangkan sebagai hari sumpah pemuda, yang salah satu poin di dalamnya
memuat ‘berbahasa satu, bahasa Indonesia’.
Pernyataan ini merupakan sebuah kerinduan yang mendalam dari suatu kehidupan
masyarakat Indonesia pada waktu itu. Sebab Bahasa Indonesia merupakan hasil
transformasi dari Bahasa daerah yang mereka gunakan dalam kehidupan budaya nenek
moyang kita. Sehingga penulis simpulkan dalam suatu ungkapan bahwa bahasa menunjukan budaya, dan bahasa menunjukkan bangsa yang sangat sulit dipisahkan dari kehidupan
kita. Ungkapan bahasa menunjukkan budaya,
dan bahasa menunjukkan bangsa sebagai dasar kajian tentang kesantunan dalam berbicara. Etika berbahasa adalah cermin (reflection) dari kesadaran filsafat. Jika ditinjau dari
sudut pandang sosioantropologis kedudukan bahasa memang paling menentukan
karena menjadi media mengungkapkan semua aspek kehidupan sosiobudaya. Hal ini
dapat dilihat dalam kedudukan bahasa menjadi kedudukan inti di antara ketujuh unsur
budaya yang universal seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat, (1985). Karena
itu, berbicara tentang bahasa sama halnya kita berbicara tentang budaya. Kita
semua ketahui bahwa berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan dalam
berbahasa yang berperannya sangat penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Oleh
karena itu, persoalan berbicara jangan disepelekan apalagi diabaikan mengenai
aspek kesantunannya. Jika demikian, maka
ribuan persoalan yang akan muncul dan sangat sulit diatasi.
Dalam tulisan ini
penulis mengangkat beragam fenomena bahasa yang muncul dalam kehidupan
sehari-hari, yang menurut penulis dapat dijadikan sebagai bahan ‘introspeksi’. Para kalangan
politisi misalnya, benarkah tidak memfitna
terhadap lawan politiknya ? Seorang guru dan dosen dalam mengajar, benarkah
tidak mengucapkan goblok !, bodoh !, bebal !, pake otak !, dasar!
Para demonstran dalam aksi turun ke jalan untuk memperjuangkan
kepentingan rakyat, benarkah tidak menyerukan kerbau SiBuYah ! tikus putih ! kepada
pemimpinnya. Para orang tua memarahi
anaknya, benarkah tidak mengucapkan setan
!, anjing !, babi ! Para pemimpin memberikan arahan terhadap bawahannya,
benarkah tidak mengatakan dasar !, pake
otakmu!
Pemakaian simbol ‘kerbau, anjing, babi’ hampir sering kita
gunakan dalam mengekspresikan kemarahan terhadap orang lain. Manusia dianalogikan kerbau, anjing, babi. Ini
merupakan bentuk-bentuk violence
dalam berbicara. Ungkapan ini sangat tidak beretika moralis. Secara semiotik,
makna simbol kerbau, anjing, babi
dalam konteks itu, dimaknai gerak lambat,
bodoh (kerbau dicocok hidung), malas, menikmati berkubang (melihat kondisi Negara ini yang kotor, keruh, tetapi
dinikmati), dan anjing dimaknai kerjanya
hanya menggonggong, tidak tahu diri, serta, babi dimaknai najis, bodoh, hanya tahu merusak.
Sebagian besar
masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi jarang memperhatikan etika dalam
berkomunikasi. Berbicara soal kesantunan berbahasa, akhir-akhir ini sudah
menjadi persoalan yang sangat akut
yang harus dicarikan solusinya (way out).
Berbagai persoalan yang dihadapi oleh pemimpin bangsa, Gubernur, Bupati, kaum
ulama/tokoh-tokoh agama, para guru, dosen, antara pembantu dan majikan, penjual
dan pembeli, polisi dan masyarakat, maupun antar masyarakat, dan lain-lain
sebagainya. Berbagai kasus yang terjadi yang sering kita baca di koran,
majalah, internet, dengar di radio, dan menonton di televisi sebagai akibat
dari orang yang tidak memperhatikan kesantunan dalam berkomunikasi antara satu
dengan yang lainnya. Salah satu kasus yang paling heboh terjadi di Indonesia
setahun terakhir ini adalah ucapan terhadap seorang pemimpin negara, ‘presiden kerbau SiBuYa! yang
diungkapkan oleh para demonstran dalam kasus skandal bank century tahun 2009.
Ucapan ini sangat tidak mencerminkan nilai-nilai budaya yang kita miliki. Ucapan kerbau,
bodoh, goblok mengingatkan kita pada kehidupan masa lalu terhadap para
penjajah. Ucapan-ucapan tersebut sering dilontarkan oleh para penjajah terhadap
pendahulu kita. Mendengar kata-kata tersebut, terlintas dalam benak kita
yakni ketakutan, kebencian, ketidaknyamanan, kedengkian, dendam, bermusuhan, atau sebuah ancaman masa depan yang suram, gelap,
bahkan sebuah kutukan. Lalu, apa
alat ukur kesantuan dalam berbicara dan bagaimana melakukannya ?
Ini
merupakan sebuah pertanyaan kunci. Siapakah yang mampu menjawab pertanyaan
tersebut? Pertanyaan itu seharus
diarahkan ke dalam diri kita sendiri apakah saya termasuk orang berbudaya.
Dalam sebuah komunitas ada yang dari latar belakang budaya yang sama, adapula
dari latar belakang budaya yang berbeda. Dalam keberagaman latar belakang
budaya tersebut akan membuat kita berkecendrungan untuk berbicara dengan santun
terhadap sesama dalam komunitas. Jika
setiap budaya tersebut dipertahankan, maka tingkat kerawanan sosial dapat
diminimalisir. Ada sebuah asumsi bahwa setiap budaya yang kita miliki adalah
baik. Atau tidak ada budaya yang tidak baik. Atas dasar itu, berbicara tentang
kesantuan berbahasa harus dimulai dari budaya yang kita miliki.
Peranan bahasa secara sosiolinguistik menurut
Halliday (1972) dalam bukunya language
structure and language function ( dalam Lyon, 1972) sebagai berikut. (1)
Fungsi regular atau instruktif, untuk mengatur dan menyuruh; (2) Fungsi
interaktif yakni untuk melakukan hubungan dengan orang lain; (3) Fungsi emotif,
(individual emotif) untuk mengungkapkan rasa, emosi. Ketiga Fungsi bahasa
tersebut sering mengalami distorsi dalam penggunaanya. Seorang majikan
misalnya, dalam menyuruh pembantunya dengan perlakuan kasar. Guru memberikan
instruksi terhadap siswa dengan kasar. Pembicara menggunakan kata-kata tidak
sopan terhadap mitra bicara atau komunikan yang menyebabkan putus hubungan,
bentrok, kesal. Kemudian begitu banyak budaya yang kita miliki masing-masing
daerah yang perlu ditumbuhkembangkan agar cara berbahasa kita lebih lembut,
sejuk, dan menyegarkan dalam perilaku sehari-hari.
Dell Hymes (1972) yang membedakan delapan unsur
situasi kontekstual tersebut adalah sebagai berikut : 1) Setting and scene;
‘tempat dan adegan atau waktu’, 2) Participant, peserta, 3) Ends, tujuan, 4) Act
sequence, bentuk dan isi pesan, 5) Key, ‘kunci’ cara penyampaian, 6) Instrumental,
alat, saluran, 7) Norms, norma, aturan, 8) Genre, kategori bentuk percakapan’.
Kemudian (Fishman, 1977; Hallyday, 1985) menyingkatnya menjadi akronim SPEAKING. Penulis menggarisbawahi Key
‘cara penyampaian’. Masalah yang paling krusial yang dihadapai oleh masyarakat
pemakai bahasa dalam berbicara adalah Cara
penyampaian maksud yang sesuai dengan konteks.
Untuk itu, kajian
tentang etika berbicara suatu persoalan yang sangat penting dipecahkan secara
ilmiah. Karena dalam komunikasi sehari-hari kita selalu menggunakan bahasa
sebagai media komunikasi baik dalam keluarga, di sekolah, maupun dalam situasi
formal maupun nonformal. Sebab jika berkomunikasi tanpa etika, maka akan
membawa dampak yang sangat luar biasa yang mengakibatkan orang bertikai, saling
membunuh. Pembelajaran tentang etika perlu diajarkan di SD, SMP, SMA, dan PT
sekalipun. Agar persoalan etika dapat meminimalisir tingkat dampak dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Tulisan ini bertujuan untuk menyadarkan kita
semua agar dalam berkomunikasi sehari-hari baik terhadap teman, rekan kerja,
atasan dan bawahan maupun guru dan siswa, orang tua dan anak, dosen dan
mahasiswa atau yang lainya menjadi harmonis. Maka pada Hari Sumpah Pemuda tahun
ini, kita pertahankan dan pelihara budaya yang kita miliki agar kita bisa
berbicara santun terhadap sesama. …ucapkanlah kata-kata yang manis, sabar dan
ramah sehingga menyenangkan semuanya (Murnianda Brotheshood, 1988:27; 63-6).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar