Senin, 30 Januari 2012

Bisakah Kita Berbicara Santun ?


Bisakah Kita Berbicara Santun ?
(Sebuah refleksi hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2010)

Oleh
VINSENSIUS GANDE

Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana, jelas, dan mudah dipahami atau dicerna oleh siapapun. Kita semua dengan mudah memahaminya karena sadar atau tidak, kita sudah pernah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, di sekolah, di jalan, maupun di kantor, ataupun di mana saja kita beraktivitas. Sehingga berbicara santun sudah menjadi milik kita. Jika demikian, muncul pertanyaan mengapa dipersoalkan lagi? Lalu, apa yang dimaksudkan dengan berbicara santun? Cf.H W. Fowler dan F.G Fowler, (1964:415) dalam Prof. Dr. I Wayan Jendre, S.U (1999:1) dalam bukunya Etika Berbicara Dalam Sastra Hindu mengatakan bahwa etika berbicara diartikan sebagai pengetahuan dan nilai tentang baik dan buruk moral berbicara (berbahasa). Etika juga berbicara tentang kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Berbicara yang baik dalam tulisan ini meliputi tiga pengendalian, yakni tidak suka mencaci maki, tidak berbicara kasar kepada komunikan dan tidak memfitna.
Pada tanggal 28 Oktober setiap tahun, dikenangkan sebagai hari sumpah pemuda, yang salah satu poin di dalamnya memuat ‘berbahasa satu, bahasa Indonesia’. Pernyataan ini merupakan sebuah kerinduan yang mendalam dari suatu kehidupan masyarakat Indonesia pada waktu itu. Sebab Bahasa Indonesia merupakan hasil transformasi dari Bahasa daerah yang mereka gunakan dalam kehidupan budaya nenek moyang kita. Sehingga penulis simpulkan dalam suatu ungkapan bahwa bahasa menunjukan budaya, dan bahasa menunjukkan bangsa yang sangat sulit dipisahkan dari kehidupan kita. Ungkapan bahasa menunjukkan budaya, dan bahasa menunjukkan bangsa sebagai dasar kajian tentang kesantunan dalam berbicara. Etika berbahasa adalah cermin (reflection) dari kesadaran filsafat. Jika ditinjau dari sudut pandang sosioantropologis kedudukan bahasa memang paling menentukan karena menjadi media mengungkapkan semua aspek kehidupan sosiobudaya. Hal ini dapat dilihat dalam kedudukan bahasa menjadi kedudukan inti di antara ketujuh unsur budaya yang universal seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat, (1985). Karena itu, berbicara tentang bahasa sama halnya kita berbicara tentang budaya. Kita semua ketahui bahwa berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan dalam berbahasa yang berperannya sangat penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu, persoalan berbicara jangan disepelekan apalagi diabaikan mengenai aspek kesantunannya.  Jika demikian, maka ribuan persoalan yang akan muncul dan sangat sulit diatasi.
Dalam tulisan ini penulis mengangkat beragam fenomena bahasa yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, yang menurut penulis dapat dijadikan  sebagai bahan ‘introspeksi’. Para kalangan politisi misalnya, benarkah tidak memfitna terhadap lawan politiknya ? Seorang guru dan dosen dalam mengajar, benarkah tidak mengucapkan goblok !, bodoh !, bebal !, pake otak !, dasar!  Para demonstran dalam aksi turun ke jalan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, benarkah tidak menyerukan kerbau SiBuYah !  tikus putih ! kepada pemimpinnya.  Para orang tua memarahi anaknya, benarkah tidak mengucapkan setan !, anjing !, babi ! Para pemimpin memberikan arahan terhadap bawahannya, benarkah tidak mengatakan dasar !, pake otakmu!
Pemakaian simbol ‘kerbau, anjing, babi’ hampir sering kita gunakan dalam mengekspresikan kemarahan terhadap orang lain.  Manusia dianalogikan kerbau, anjing, babi.  Ini merupakan bentuk-bentuk violence dalam berbicara. Ungkapan ini sangat tidak beretika moralis. Secara semiotik, makna simbol kerbau, anjing, babi dalam konteks itu, dimaknai gerak lambat, bodoh (kerbau dicocok hidung), malas, menikmati berkubang (melihat kondisi Negara ini yang kotor, keruh, tetapi dinikmati), dan anjing dimaknai  kerjanya hanya menggonggong, tidak tahu diri, serta, babi dimaknai najis, bodoh, hanya tahu merusak.
Sebagian besar masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi jarang memperhatikan etika dalam berkomunikasi. Berbicara soal kesantunan berbahasa, akhir-akhir ini sudah menjadi persoalan yang sangat akut yang harus dicarikan solusinya (way out). Berbagai persoalan yang dihadapi oleh pemimpin bangsa, Gubernur, Bupati, kaum ulama/tokoh-tokoh agama, para guru, dosen, antara pembantu dan majikan, penjual dan pembeli, polisi dan masyarakat, maupun antar masyarakat, dan lain-lain sebagainya. Berbagai kasus yang terjadi yang sering kita baca di koran, majalah, internet, dengar di radio, dan menonton di televisi sebagai akibat dari orang yang tidak memperhatikan kesantunan dalam berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Salah satu kasus yang paling heboh terjadi di Indonesia setahun terakhir ini adalah ucapan terhadap seorang pemimpin negara, ‘presiden kerbau SiBuYa!  yang diungkapkan oleh para demonstran dalam kasus skandal bank century tahun 2009. Ucapan ini sangat tidak mencerminkan nilai-nilai budaya yang kita miliki.  Ucapan kerbau, bodoh, goblok mengingatkan kita pada kehidupan masa lalu terhadap para penjajah. Ucapan-ucapan tersebut sering dilontarkan oleh para penjajah terhadap pendahulu kita. Mendengar kata-kata tersebut, terlintas dalam benak kita yakni  ketakutan, kebencian, ketidaknyamanan, kedengkian, dendam, bermusuhan, atau  sebuah ancaman masa depan yang suram, gelap, bahkan sebuah kutukan.  Lalu, apa alat ukur kesantuan dalam berbicara dan bagaimana melakukannya ?
Ini merupakan sebuah pertanyaan kunci. Siapakah yang mampu menjawab pertanyaan tersebut?  Pertanyaan itu seharus diarahkan ke dalam diri kita sendiri apakah saya termasuk orang berbudaya. Dalam sebuah komunitas ada yang dari latar belakang budaya yang sama, adapula dari latar belakang budaya yang berbeda. Dalam keberagaman latar belakang budaya tersebut akan membuat kita berkecendrungan untuk berbicara dengan santun terhadap sesama dalam komunitas. Jika setiap budaya tersebut dipertahankan, maka tingkat kerawanan sosial dapat diminimalisir. Ada sebuah asumsi bahwa setiap budaya yang kita miliki adalah baik. Atau tidak ada budaya yang tidak baik. Atas dasar itu, berbicara tentang kesantuan berbahasa harus dimulai dari budaya yang kita miliki.
Peranan bahasa secara sosiolinguistik menurut Halliday (1972) dalam bukunya language structure and language function ( dalam Lyon, 1972) sebagai berikut. (1) Fungsi regular atau instruktif, untuk mengatur dan menyuruh; (2) Fungsi interaktif yakni untuk melakukan hubungan dengan orang lain; (3) Fungsi emotif, (individual emotif) untuk mengungkapkan rasa, emosi. Ketiga Fungsi bahasa tersebut sering mengalami distorsi dalam penggunaanya. Seorang majikan misalnya, dalam menyuruh pembantunya dengan perlakuan kasar. Guru memberikan instruksi terhadap siswa dengan kasar. Pembicara menggunakan kata-kata tidak sopan terhadap mitra bicara atau komunikan yang menyebabkan putus hubungan, bentrok, kesal. Kemudian begitu banyak budaya yang kita miliki masing-masing daerah yang perlu ditumbuhkembangkan agar cara berbahasa kita lebih lembut, sejuk, dan menyegarkan dalam perilaku sehari-hari.
Dell Hymes (1972) yang membedakan delapan unsur situasi kontekstual tersebut adalah sebagai berikut : 1) Setting and scene; ‘tempat dan adegan atau waktu’, 2) Participant, peserta, 3) Ends, tujuan, 4) Act sequence, bentuk dan isi pesan, 5) Key, ‘kunci’ cara penyampaian, 6) Instrumental, alat, saluran, 7) Norms, norma, aturan, 8) Genre, kategori bentuk percakapan’. Kemudian (Fishman, 1977; Hallyday, 1985) menyingkatnya menjadi akronim SPEAKING. Penulis menggarisbawahi Key ‘cara penyampaian’. Masalah yang paling krusial yang dihadapai oleh masyarakat pemakai bahasa dalam berbicara adalah Cara penyampaian maksud yang sesuai dengan konteks.
Untuk itu, kajian tentang etika berbicara suatu persoalan yang sangat penting dipecahkan secara ilmiah. Karena dalam komunikasi sehari-hari kita selalu menggunakan bahasa sebagai media komunikasi baik dalam keluarga, di sekolah, maupun dalam situasi formal maupun nonformal. Sebab jika berkomunikasi tanpa etika, maka akan membawa dampak yang sangat luar biasa yang mengakibatkan orang bertikai, saling membunuh. Pembelajaran tentang etika perlu diajarkan di SD, SMP, SMA, dan PT sekalipun. Agar persoalan etika dapat meminimalisir tingkat dampak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Tulisan ini bertujuan untuk menyadarkan kita semua agar dalam berkomunikasi sehari-hari baik terhadap teman, rekan kerja, atasan dan bawahan maupun guru dan siswa, orang tua dan anak, dosen dan mahasiswa atau yang lainya menjadi harmonis. Maka pada Hari Sumpah Pemuda tahun ini, kita pertahankan dan pelihara budaya yang kita miliki agar kita bisa berbicara santun terhadap sesama. …ucapkanlah kata-kata yang manis, sabar dan ramah sehingga menyenangkan semuanya (Murnianda Brotheshood, 1988:27; 63-6).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar