oleh:
VINSENSIUS GANDE
I.
Pandahuluan
Raping dalam
bahasa Indonesia adalah ‘enau’. Raping
atau Arengga pinnata-Wurmb-Merill atau Arenga saccarifera Labill, famili Arecaceae merupakan
tanaman budaya Manggarai yang biasanya tumbuh secara alami baik di kawasan
hutan lindung, maupun di dalam kawasan hutan rakyat, seperti di pinggir daerah
aliran sungai, di lereng bukit dan di sumber mata air yang tinggi pohonnya
antara 5 sampai 10 meter. Namun sebagian besar raping tumbuh di kawasan hutan lindung.
Tumbuhan
raping menjadi objek mata pencaharian
masyarakat Manggarai sejak zaman dahulu. Tradisi leluhur orang Manggarai pada
saat itu memanfaatkan alam atau lingkungan untuk kehidupannya. Mereka telah
mengkultuskan tumbuhan raping menjadi
jantung kehidupan budaya mereka saat itu. Tuak
bakok ‘tuak putih’, wunut
‘bahan untuk atap rumah adat Manggarai’, dan mbutak ‘makanan tradisi orang Manggarai’ merupakan bagian yang
terpenting dari raping.
Selain sebagai jantung
budaya Manggarai, raping juga
memiliki sumbangan terbesar terhadap bahasa Manggarai baik pada aspek
leksikalisasi, gramatikalisasi, tekstualisasi, maupun kulturalisasi. Leluhur
telah mengkodekan raping mulai dari aspek
leksikal, yaitu penamaan raping (akar
sampai ujung daun), jenis-jenis raping (raping muda sampai raping
tua), proses olahan, hasil olahan, alat yang digunakan (instrument), dan cara menggunakan alat (using the instrument), aspek gramatikal (frase, kata majemuk, dan
klausa), aspek tekstual (teks-teks tuturan untuk berbagai keperluan adat,
gereja, dan permasalahan lainnya), dan aspek kulturalisasi (pengenaan simbol
adat, falsafah dasar kehidupan masyarakat). Keempat aspek linguistic tersebut
akan tercermin dalam raping.
Sayangnya, raping sudah diambang kepunahan. Ketamakan
masyarakat Manggarai yang tinggal berbatasan dengan hutan menguasai wilayah
hutan dan mengeruk hasil hutan untuk kepentingan ekonomi, bangunan, dan
makanan. Penguasaan dan pengerukan wilayah hutan dengan cara pembalakan liar
akan membawa dampak yang signifikan terhadap hutan baik lingkungan biotik
maupun abiotik yang di dalamnya memiliki ekosistem tersendiri termasuk sumber
kehidupan bagi manusia yang ada di sekitarnya serta sumber air bersih bagi
masyarakat. Semua ini akan berimplikasi bagi keberlangsungan makhluk hidup dan eksosistemnya.
Selain itu, Turner
(2001) menambahkan bahwa pola lahan garapan manusia (patterns
of land use) juga dapat mengubah dasar lingkungan. Hal ini bisa terjadi
melalui proses alami secara langsung, dan bisa juga terjadi melalui interaksi
dengan abiotik untuk menciptakan hidupnya suatu organisme, misalnya melalui
reproduksi dan penyebaran. Lahan garapan
adalah suatu tempat bagi manusia mengolah lahan untuk sumber kehidupan
(Meyer, 1995). Misalnya manusia mungkin memanfaatkan lahan untuk memroduksi
makanan, mendirikan rumah, kegitan industri, dan untuk rekreasi (Nir, 1983) dan
land cover mengacu pada habitat atau
tumbuh-tumbuhan seperti hutan, pertanian, pandang rumput. Lingkungan hutan
banyak dimanfaatkan untuk kepentingan logging.
Kekritisan lingkungan akan
berpengaruh pada keerosian bahasa. Hasil hutan seperti raping akan terancam punah oleh akibat ketamakan sebagian masyarakat
Manggarai untuk kepentingan ekonomi mereka dan juga untuk wilayah pemukiman
mereka. Keerosian leksikal akan mengancam kebertahanan bahasa Manggarai sebagai
bahasa ibu yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Pemertahanan bahasa sangat
dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor lingkungan itu sendiri.
II.
Landasan
Teori
Pisau
bedah yang digunakan untuk mengkaji masalah bahasa dan ekologi adalah
ekolinguistik. Melalui ekolinguistik akan menjelaskan fenomena bahasa dengan
parameter ekologi. Seorang
tokoh paradigma linguistik pertama pada 30 tahun yang lalu bernama Einer Haugen
telah mengkombinasikan bahasa dengan ekologi. Dijelaskan bahwa ekologi bahasa
adalah ilmu yang mempelajari interrelasi antara bahasa yang ada dalam kognitif
manusia dan dalam komunitas yang multilingual. Semenjak itu, ekolinguistik
sebagai cabang ilmu linguistik yang mengembangkan hubungan antara bahasa dan
ekologi yang telah didirikan dengan cara yang berbeda dan dengan menggunakan pendekatan,
dan metode yang berbeda pula (JOrgensen dan Bendoricchio, 2001).
Ekologi merupakan ilmu yang
muncul akhir abad ke-IX di Europe dan Amerika. Ilmu ekologi kelihatannya tidak
hanya lingkungan manusia sebagai objek kajiannya, tetapi mempelajari banyak hal
yakni kompleksitas interaksi sejumlah komponen abiotik seperti udara, air, dan
komponen biotik seperti plants, animals. Ekologi manusia membangun interaksi
antara manusia dan lingkungannya, dengan sangat menambah kompleksitasnya.
Ekologi manusia dibatasi oleh alam dan budayanya. Misalnya masyarakat
Tsembaga dari Papua New Guinea, Shoshon
Indians dari Amerika Barat, Tukano Indians dari Amazonian hutan hujan (Merchant (1992)
Selanjutnya, konsep ekologi
menurut Thohir, (dalam Mbete, 2010:2) adalah ilmu yang mempelajari semua jenis
makhluk hidup termasuk manusia (dengan budaya dan bahasanya dan kaitannya
dengan “lingkungannya”. Selanjutnya yang dimaksud dengan lingkungan manusia
atau lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia,
baik yang berwujud benda mati maupun jasad-jasad atau organisme-organisme dan
di dalamnya ada manusia.
Secara umum Louis dan Calvet
(2006), mendefinisikan ekologi sebagai ilmu yang mempelajari relasi antara
organisme dan lingkungannya, sedangkan ekologi bahasa adalah ilmu yang
mempelajari bahasa dan lingkungannya. Dalam hal ini, relasi antara bahasa itu
sendiri, antara bahasa dan masyarakat.
Beberapa
konsep tentang ekologi bahasa (ekolinguistik) di atas dapat digarisbawahi bahwa
dalam ekolinguistik mengandung beberapa konsep interaksi yang penting yakni
keberagaman (diversity), intrarelasi
(intrarelations), interrelasi (interrelations), ekstra relasi (extrarelations) bahasa, ekologi, dan kombinasi dari komponen relasi tersebut,
kemudian adanya independensi (saling ketergantungan satu sama lain) antara
bahasa dan lingkungannya. Bahasa
mempunyai relasi dengan ekologi yang cukup tinggi dan sulit dipisahkan.
Keberagaman atau kebervariasian bentuk
leksikon, bentuk gramatika, bentuk teks, budaya dengan ekologinya, mencerminkan
interaksi atau relasi suatu bahasa dan ekologinya. Seperti yang dinyatakan Derni
(2008) bahwa ekolinguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa dengan
lingkungan yang memiliki intrarelasi, interrelasi, ekstrarelasi dan kombinasi
satu sama lain di antara unsur-unsur tersebut.
Yang mendasari kajian
ekolinguistik dalam tulisan ini adalah mengacu pada citra bentuk (signifie) dan citra makna (signifient)
yang dikemukakan oleh seorang tokoh linguistik modern, Ferdinand de Saussure.
Menurut Ferdinand de Saussure, citra bentuk (signifie) dan citra makna (signifient) mengandung makna referensial
yang realitas di sekitar kita.
Teori ekolinguistik
untuk menjelaskan interrelasi
antara bahasa dengan pemikiran manusia dan komunikasi
multilingual dengan parameter
ekologi yakni interaksi dan interrelasi (interrelationships), lingkungan (environment) dan
keberagaman/kebervariasian (diversity)
(Fill, dan Mühlhüsler, 2001:1).
Teori tersebut didasari pada
prinsip interaksi, dan keberagaman/kebervariasian (diversity). Bentuk interaksi antara lingkungan fisik dan lingkungan
sosial atau bahasa dan kebudayaan dapat
dilihat pada level interrelasi leksikon. Sedangkan bentuk keberagaman (diversity) dapat dilihat pada tatanan
kebervariasian leksikon yang dihasilkan oleh suatu bahasa tersebut. Apakah
kebervariasian leksikon terjadi dalam pikiran manusia (human mind), dalam komunitas yang realitas, sistem bahasa,
ataupun interrelasi antara pembicara.
Karena menurut Mühlhüsler, (2001:6) kebervariasian terjadi karena faktor
adaptasi terhadap lingkungan, sedangkan Glausiusz dalam Mühlhüsler, (2001:6)
kebervariasian bahasa (leksikon) terjadi karena proses evolusi.
Ekolinguistik merupakan sebuah teori yang mengaitkan
linguistik dengan ekologi. Ekologi dalam ilmu linguistik memainkan peran yang
sangat penting. Pentingnya ekologi dalam ilmu linguistik terutama untuk
kebertahanan bahasa. Karena ada suatu asumsi bahwa keerosian bahasa terjadi disebabkan
oleh kererosian lingkungan. Berangkat dari pemikiran filosofis tersebut maka
lingkungan menjadi salah satu kajian penting dalam ilmu linguistik. Sebaliknya,
fakta telah menunjukkan bahwa lingkungan tanpa bahasa adalah mati. Tanpa
bahasa, seseorang tidak mungkin bisa mengungkapkan kerahasiaan alam tersebut
kepada orang lain. Segala sesuatu yang akan dilakukan harus menggunakan bahasa.
Melalui bahasa, kita dapat mengonstruksikan pengalaman atau mengekspresikan
atau mengklasifikasikan dunia nyata yang ada di sekitar kita. Bagaimanapun bahasa merupakan hasil
konfigurasi pikiran manusia dengan ekologinya. Melalui bahasa akan tergambar
cara berpikir seseorang tentang sesuatu yang ada dalam dunia nyata termasuk
budaya. Pengkodean masing-masing budaya tentu mengalami perbedaan atau
bervariasi. Bentuk pengkodeannya bisa terjadi melalui lexicalize, gramaticalize, textualize, dan culturalize. Perbedaan pengkodean dapat dilihat pada tingkat
kekayaan leksikon, gramatikal, teks, dan budaya.
III. Pembahasan
Pengkodean raping
oleh leluhur orang Manggarai tidak hanya dalam bentuk leksikalisasi,
gramatikalisasi, tekstualisasi tetapi juga
dalam bentuk kulturalisasi. Unsur-unsur lingual merupakan bentuk
konfigurasi pikiran manusia dengan alam sebagai dunia nyata. Yang menjadi akar
(root) kajian ekolinguistik adalah
kata (word). Ihwal tersebut akan
tercermin dalam aspek lingual yang dideskripsikan berikut ini.
1. Leksikalisasi
Pengleksikalan
raping dimulai dari penamaan, proses
pembuatan, hasil olahan, unsur pemanfaatannya. Penamaan raping diklasifikasikan atas Nomina, Verba, dan Adjektiva seperti
yang dideskripsikan berikut ini.
a.
Nomina
longko
‘buah
enau berbentuk bulat’
leka
‘lidi’
enep
‘kulit
kayu obat yang ditempel pada bagian enau’
tuak
‘tuak’
gola
‘gula’
wunut
‘ijuk’
ndara ‘batang buah sumber air
tuak’
pangka
‘dahan’
dongge
‘bambu
penyimpan tuak’
sombek
‘senduk
aduk gula’
cewe
‘kuali
masak gula’
rimang
‘lidi
hitam tajam’
dudut ‘bagian dalam
dari dahan raping’
b.
Verba
pante
‘memahat’
lempa
‘memotong dahan untuk duduk’
tewa
‘memukul’
cu’i
‘ mengambil bambu tuak dari gantungan’
kokor
‘memasak gula’
loga
‘mencuri tuak’
c.
Adjektiva
mince
‘manis’
pait ‘pahit’
keras ‘kadar alkoholnya tinggi’
metek
‘pahit sekali
heo ‘asam’
juek ‘manis sakali
geris
‘rasa
tuak yang agak lama disimpan’
2.
Gramatikalisasi
a.
Kata majemuk
tuak
raja ‘tuak untuk raja’
tuak
bongko ‘tuak yang disimpan dalam sebuah tempat khusus’
tuak
kapu
‘tuak untuk penerimaan tamu terhormat’
tuak
kepok ‘tuak untuk suatu keperluan’
tuak ris ‘tuak untuk
menerima tamu secara umum’
raping
koe ‘pohon enau yang masih kecil’
raping
rana ‘pohon enau yang agak muda’
raping
longko ‘pohon enau yang sudah siap diolah’
raping
longko kilit ‘pohon enau yang buahnya sangat lebat’
raping
lombong ‘pohon enau yang buahnya kurang lebat’
raping
lopo
‘pohon enau yang sudah tua’
pante
tuak ‘mengiris tuak’
kokor gola ‘memasak
gula (proses pembuatan)’
tewa raping
‘memukul bagian batang enau (sumber air tuak)’
loga tuak
‘mencuri tuak’
mince kokor
‘tuak manis untuk gula’
pande sari
‘ tempat masak gula’
weri likang
‘tanam batu tungku’
nare mince
‘masak tuak manis’
kako dongge
‘mencuci bambu penyimpan tuak dengan air panas’
pande galang
‘membuat format gula batang’
haju nggebot ‘sebatang
kayu tipis pengganti irus’
leke teke ‘tempurung
kelapa’
gola leke ‘gula
berbentuk tempurung kelapa’
gola malang
‘gula batang’
gola tarek
‘gula berbentuk cair’
gola bekel
‘gula agak lembek’
gola bongkar
‘gula agak keras’
liti
wunut ‘mengambil ijuk
dari pohon enau’
wesung
wunut ‘menganyam ijuk
dengan tangan’
wiung
wunut ‘menganyam ijuk
dengan alat berupa kayu’
wase
oles
‘tali hasil anyam’
pote
wase ‘menganyam wunut’
pote
sua ‘menganyam
dua bagian’
pote
telu ‘menganyam tiga bagian’
b.
Frase
tuak bakok
‘tuak berwarna putih’
siuk leka ‘siuk dari leka’
enep soga
‘kulit dari pohon soga’
enep ndamer
‘kulit dari pohon ndamer’
mince juek
‘tuak yang manis sekali’
tuak pait ‘tuak
pahit’
tuak mince
‘tuak manis’
mince jambu
‘tuak yang rasanya sedikit manis’
mince makit tuak
yang rasa asam bercampur pahit’
c.
Metafora dan
Ungkapan
Tuak toe wae ‘menunggu yang sia-sia’
One mai cikang uwang, peang mai
cikang tuak ‘Hanya tuak dan uang yang dibawa’
Kapu manuk lele tuak
‘membawa tuak dan ayam untuk meminta sesuatu’
Petu pucu jelok kemok ‘mengiris
tuak’
Apa iwo toe manga one hemi manga
one aku ‘Semua kebutuhan manusia ada pada pohon enau’
3.
Tekstualisasi
Tabe ité amé Bupati Manggarai Barat
ata lonton bongkok, caun landuk, pongo lobo ujung pu’u lawa Manggarai Barat. Tabé kole ité amé professor. Leso ho’o ami
sanggéd taung guru Manggarai
Barat Manga ranga, neki weki ai leso ho’o guru Manggarai Barat kudut cama-cama
agu ités sengaji pandé seminar kudut lorongs taé dé bolo, na’as taé de manga
porong nuks koés taé weru. Ngasang profési dami sebagai guru Manggarai Barat. Io ...ho’o tuak agu ceki ité ledong disé empo, mbaté disé amé ho’o
adak dami tiba agu kapu ité: cu’ung éta wuwung kéta ité lami naka lobo pa’a,
kapu toé pau, pola toé gomal. Ai ité lagé bombang mésé na’ang tana kolang leso
ai cama-cama agu ami guru Manggarai Barat
kudut padir wa’i rintuk sai tombo cama-cama lorong profési
dami sebagai guru. Io ., ai ité ata don baé don ita porong pedeng koé oné nai
dami guru Manggarai Barat, apa ata ita dité, ata baé dité kudut
lorong kin taé bolo na’as kit taéd manga agu kumpuls kit taé weru. Io itu rewengs dami.
4.
Kulturalisasi
Makna
simbol budaya:
a.
Tuak raja
Tuak
merupakan hasil olahan dari pohon raping.
Dalam budaya Manggarai tuak yang digunakan untuk keperluan adat bersumber dari
pohon raping. Tuak untuk keperluan
adat bukan tuak manis, melainkan tuak pahit atau tuak yang beralkohol tinggi yang dicampuri enap soga atau enep ndamer (nama lokal). Kedua jenis kulit pohon kayu tersebut diperlukan
untuk membuat tuak rasanya pahit dan warnanya putih bersih. Jika tidak
dicampuri enep rasanya manis dan
warnanya agak kemerahan. Pohon soga dan ndamer biasanya tumbuh di sekitar hutan tempat tumbuhnya pohon
enau.
Tuak bakok
dimanfaatkan oleh leluhur untuk menyambut sang raja, atau para pemimpin (orang-orang
yang terhormat) seperti pemimpin pemerintahan dan pemimpin gereja, tokoh-tokoh
masyarakat. Selain untuk acara penyambutan, tuak
bakok juga selalu digunakan dalam berbagai acara misalnya, pernikahan,
ritual adat, ritual gereja, penyelesaian secara adat dalam sengketa lahan, dan
pembunuhan atau permasalahan lainnya yang memerlukan penyelesaian secara adat.
Dengan kata lain, tuak bakok berperan
penting dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mengingat tuak bakok memiliki banyak
fungsinya, leluhur menamainya tuak raja ‘tuak
yang dimanfaatkan untuk maskud tertentu’. Raja
dimaknai ‘jenis permasalahan.’ Setiap
raja, mempunyai teks yang berbeda.
Dengan demikian, istilah tuak bakok
bisa disebut tuak raja.
Simbol
tuak mengandung makna kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan. Pemikiran filosofisnya
bahwa tuak dapat mempesatukan perbedaan, menjalin persaudaraan, sehingga
terciptanya kebersamaan. Ihwal ini memiliki relevansi dengan falsafah lontok leok ‘duduk melingkar’ sebagai
falsafah dasar kehidupan masyarakat Manggarai yang disimbolkan dalam mbaru gendang ‘rumah gendang’ dan lingko
‘lahan pertanian berbentuk bulat’ yang dalam ungkapan budaya yaitu gendang
onen, lingkon peang.
Kemudian, tuak untuk keperluan adat hanya tuak
bakok ‘tuak putih’, bukan tuak warna lain. Sebab ada tuak hasil olahan pohon raping yang berwarna kemerah-merahan karena
kulit pohon obat yang diambil bukan enep
soga, atau enep ndamer dan rasanya
manis. Tuak jenis ini bisa diminum oleh siapa saja termasuk ibu-ibu. Simbol bakok ‘putih’ mengandung makna kemurnian
hati, kesucian hati, kegembiraan, kebanggaan atau kasih sayang.
Atas
dasar pemikiran filosofis seperti itu, maka tuak
putih atau tuak raja dalam budaya
Manggarai merupakan simbol kebersamaan, persaudaraan dan persatuan yang
dilandasi oleh kemurnian hati, kesucian hati, kebanggaan dan kasih sayang. Untuk
mengikat kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan itu diperlukan uang, seperti
dalam ungkapan One mai cikang uwang,
peang mai cikang tuak. Jumlah uang bukan merupakan hal yang penting dalam
budaya Manggarai, melainkan maknanya. Simbol uang dalam hal ini hanya sebagai jerék ‘pengikat’ kebersamaan,
persaudaraan, dan persatuan. Jadi, tuak
bakok dan uang dalam upacara adat Manggarai merupakan hal yang sangat
penting.
Dalam
tradisi adat Manggarai, tuak bakok
dan uang diperlukan pada saat acara
adat baik dalam ritus pernikahan adat, ritual pernikahan di gereja katolik,
ritual syukuran ‘penti’, penerimaan tamu-tamu terhormat, atau agung, seperti
pemimpin negara, daerah, para pemimpin agama, para pemimpin lembaga pendidikan,
atau orang-orang yang dipandang terhormat. Dalam acara formal atau informal seperti
itu, tuak raja ini dituangkan ke
dalam suatu tempat yang istilah bahasa Manggarai robo yang ditutupi dengan wunut.
Robo, kemudian ditutupi wunut. Sebelum penyerahan robo diawali dengan kepok ‘teks tuturan’ yang disampaikan oleh seorang juru bicara atau
tongka.
Selain penggunaan simbol, adapula teks verbal
berupa tuturan yang diucapkan oleh tongka
‘juru bicara’ dalam bahasa Manggarai menyebutkannya torok. Teks torok
memiliki perbedaan tergantung konteks upacara adatnya. Perbedaan tersebut dapat
klasifikasikan atas dua teks tuturan, yaitu teks
kapok, dan teks kapu. Substansi
persoalan dan bentuk isi teksnya pun berbeda. Tuak kepok secara implisit mengandung makna mengajak orang untuk
duduk bersama, bermusyawarah untuk suatu tujuan. Isi teksnya mengandung makna
mengajak masyarakat bermusyawara untuk menyatukan pikiran dan perasaan dalam
menyelesaikan masalah yang ingin dipecahkan sehingga menghasilkan suara bulat
dan satu tekad.
Berbeda dengan makna tuak kapu, yaitu untuk
menerima tamu terhormat. Tuak kapu
untuk menyatakan rasa bangga, senang dan kasih sayang atas kehadiran atau
kedatangan tamu tersebut ibarat menyambut kedatangan seorang bayi atau anak
kecil yang harus dipangku (naka loba pa),
digendong (kapu toe pau), dijunjung (cu’ung eta wuwung), dan dibopong (pola toe gomal). Dengan kata lain, tamu
mendapat kedudukan yang lebih tinggi dalam budaya Manggarai. Cuplikan teks tuak kapu dapat dilihat pada teks
berikut ini.
Io.......,ema bupati, ho’o tuak agu ceki, ata ledong disé empo, mbaté disé amé. Ho’o
adak dami tiba agu kapu ité: cu’ung éta wuwung, naka lobo
pa’a, kapu toé pau, pola toé gomal. Ai ité lagé bombang
mésé na’ang tana kolang leso.
(Bapak
Bupati, tuak dan adat-istiadat kami yang diwariskan oleh leluhur dan yang
diajarkan oleh orang tua kami, untuk menerima dan menyambut kehadiran Bapak.
Karena kedatangan Bapak ke tempat acara ini dengan penuh rintangan, berjalan di
bawah terik matahari yang panas, beralaskan tanah. Kedatangan Bapak ke acara
ini sungguh kami merasa sangat bangga dan dengan senang hati untuk menerimanya.Sepantasnya
kami harus memangku, membopong, mengendong dan menjunjung Bapak).
b.
Robo
Robo
terbuat
dari kulit buah sayur yang isinya dibuang dan berbentuk botol tetapi agak
besar, kemudian dikeringkan dibagian atas tungku api dalam waktu yang cukup
lama. Penggunaan robo wajib digunakan
untuk upacara ritual keagamaan di Gereja Katolik, dan upacara penjemputan tamu
terhormat atau agung atau kecuali pada saat upacara adat perkawinan, dan ritus
lainnya bisa menggunakan botol. Tuak
bakok dituangkan ke dalam robo kemudian
ditutupi oleh serabut dari raping.
Makna filosofis robo adalah kesederhanaan,
kerendahan hati masyarakat Manggarai dalam menerima tamu. Tamu bagi budaya
Manggarai harus dihormati, dihargai, dijunjung tinggi. Karena ada suatu asumsi
bahwa tamu pembawa rejeki. Berangkat asumsi itu, tamu ditempatkan pada
kedudukan yang lebih tinggi bahkan diperlakukan lebih istimewa walaupun dalam
penuh kekurangan dan keterbatasan kemampuan material maupun intelektual. Jika
penerimaan tamu terhormat tanpa menggunakan robo,
dianggap It does not make sense dan
itu hanya dinilai meaningfull saja
atau tidak bernilai budaya.
c.
Wunut
Wunut
merupakan ijuk yang penting sekali
kegunaannya terutama untuk atap mbaru
gendang ‘rumah adat Manggarai’. Atap wunut
menjadi suatu keharusan dalam membangun mbaru
gendang. Bagaimanapun, atapnya tidak dapat digunakan selain wunut. Mencermati itu, dapat disimpulkan
bahwa wunut menjadi bagian yang
terpenting dalam mbaru gendang.
Penggunaan wunut oleh leluhur bukan
sebuah kebetulan, tetapi sebuah pilihan. Dikatakan demikian karena secara
filosofis, makna wunut disimbolkan sebuah
kesederhanaan, dan kerendahan hati. Pemaknaan wunut tersebut dilandasi oleh suatu pemikiran filosofis yang
mendalam bagi leluhur orang Manggarai waktu itu.
d.
Mbutak
Mbutak
merupakan
salah satu jenis makanan tradisi bagi para petani yang bersumber dari pohon
enau. Pada musim kemarau panjang yang mengakibatkan kelaparan, selain raut ‘ubi hutan’ tidak ada pilihan lain
bagi para petani untuk mempertahankan hidupnya ialah mbutak. Perolehan mbutak tidak
semudah yang kita bayangkan. Di samping itu, tidak semua raping bisa diambil mbutak-nya.
Para peteni biasanya dilakukan ngeteng
‘memotong sebagian isi pohonnya’ dengan tujuan untuk mengetes apakah raping tersebut mengandung mbutak. Bagian yang dipotong
dipukul-pukul hingga hancur, dicampuri air lalu disaring dengan kain. Kemudian
airnya dibuang. Jika tepungnya berwarna putih bersih berarti pohon tersebut
bisa dibuatkan mbutak.
Proses pembuatannya diawali poka ‘memotong bagian pohon’ setelah tumbang,
baru kepu ‘ memotong batang beberapa
bagian’ sesuai panjang batangnya. Setiap kepu
di belah dua (tega) atau dibelah
empat (cingke tiu) dengan kapak. Setiap
potongan disandarkan pada kayu agak
miring, lalu dipacul (wincil) hingga
habis isinya dengan alat berbentuk pacul terbuat dari bambu yang diruncing
ujungnya bertangkai kayu agak pendek. Bagian bawahnya ditaruh daun pisang untuk
menadah hasil pacul. Selain dengan cara wincil,
bisa dilukan dengan cara ri’ik ‘menginjak’.
Caranya sebagai berikut. Setelah batang kayu tersebut dibelah empat, lalu
dipukul-pukul hingga hancur. Lalu dibuatkan tenda berukuran: tinggi 2 meter, lebar 1,5 meter.
Tenda tersebut didinding dengan wunut
berbentuk piramida terbalik sebagai penyaring. Batang yang sudah hancur
diletakan di atas tenda dan diinjak-injak oleh beberapa orang dicampuri air.
Lalu dibagian bawah tenda ditaruh galang
‘penampung air yang terbuat dari kayu.’ Air yang ditampung di galang dibuang, tepungnya diambil. Warna tepungnya putih bersih. Sebelum
dimakan, tepung tersebut ditaruh dalam daun gebang yang sudah dianyam lalu
dibakar hingga matang, baru dimakan. Untuk satu potong yang dibelah empat
berukuran 2 meter bisa menghasilkan 2,5
karung ukuran 50 kg.
DAFTAR
PUSTAKA
Callicott, J. Baird. 1989. In Defense of the Land Ethic : Essays
in Environmental Philosophy.Albany : State University of New York Press.
Derni, Ammaria. 2008.
The Ecolinguistic Paradigm: An
Integrationist Trend in Language Study. Tlemcen: Abou Bekr
Belkaid University Algeria The International Journal of
Language Society and Culture. www.educ.utas.edu.au/users/tle/JOURNAL/
Fill, Alwin. Peter
Mühlhaüsler. 2001. The Ecolinguistic
Reader. Langguage, Ecology dan Environtmen.Continuum London and New York.
Fill, Alwin. Hermine
Penz (eds). 2007. Sustaining Language:
Essay in Applied Ecolinguistics. Lit Verlag GmbH & Co.Kg
Wien. Krotenthaergasse 1078. A-1080 Wien and London.
Jamieson, Dale. 2001. A Companion To Environmental of
Philosophy. Blackwell Publishers Inc. 350 Main Street. Malden,
Massachausetts 02148. USA dan Blackwell Publishers Ltd. 108 Cowley Road Oxford
0X4 1JF, UK.
JOrgensen, S.E and
G. Bendoricchio. 2001. Fundamentals of
Ecological Modelling. Third Eddition. Elsevier Science Ltd. The Boulevard,
Longford Land Kidlington, Oxford OX5 1GB, UK.
Louis dan
Jean Calvet. 2006. Towards An
Ecology of World Languages. Polity Press. 65 Bridge Street Cambridge CB2
1UR, UK.
Mbete, Aron Meko. 2009. Problematika Keetnikan dan Kebahasaan dalam Perspektif Ekolinguistik. Sebuah refleksi ringan
(artikel).
Merchant, Carolyn. 1992. Livable World :Timber Company You Are Selling Our Home. New York : Routledge.
An Imprint of Routhledge, Chapman & Hall.Inc 29 West 35th Street
NY 10001
Turner, Monica G. Robert H. Gardner. Robert
V.O’Neill. 2001. Landscape Ecology In
Theory & Practice : Pattern &
Process. Springer Science Business Media Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar