Senin, 30 Januari 2012

RAPING DALAM PERSPEKTIF EKOLINGUISTIK KRITIS


 oleh:
VINSENSIUS GANDE 


I.    Pandahuluan
Raping dalam bahasa Indonesia adalah ‘enau’. Raping atau  Arengga pinnata-Wurmb-Merill atau Arenga saccarifera Labill, famili Arecaceae merupakan tanaman budaya Manggarai yang biasanya tumbuh secara alami baik di kawasan hutan lindung, maupun di dalam kawasan hutan rakyat, seperti di pinggir daerah aliran sungai, di lereng bukit dan di sumber mata air yang tinggi pohonnya antara 5 sampai 10 meter. Namun sebagian besar raping tumbuh di kawasan hutan lindung.
Tumbuhan raping menjadi objek mata pencaharian masyarakat Manggarai sejak zaman dahulu. Tradisi leluhur orang Manggarai pada saat itu memanfaatkan alam atau lingkungan untuk kehidupannya. Mereka telah mengkultuskan tumbuhan raping menjadi jantung kehidupan budaya mereka saat itu. Tuak bakok ‘tuak putih’,  wunut ‘bahan untuk atap rumah adat Manggarai’, dan mbutak ‘makanan tradisi orang Manggarai’ merupakan bagian yang terpenting dari raping.
Selain sebagai jantung budaya Manggarai, raping juga memiliki sumbangan terbesar terhadap bahasa Manggarai baik pada aspek leksikalisasi, gramatikalisasi, tekstualisasi, maupun kulturalisasi. Leluhur telah mengkodekan raping mulai dari aspek leksikal, yaitu penamaan raping (akar sampai ujung daun), jenis-jenis  raping (raping muda sampai raping tua), proses olahan, hasil olahan, alat yang digunakan (instrument), dan cara menggunakan alat (using the instrument), aspek gramatikal (frase, kata majemuk, dan klausa), aspek tekstual (teks-teks tuturan untuk berbagai keperluan adat, gereja, dan permasalahan lainnya), dan aspek kulturalisasi (pengenaan simbol adat, falsafah dasar kehidupan masyarakat). Keempat aspek linguistic tersebut akan tercermin dalam raping.
Sayangnya, raping sudah diambang kepunahan. Ketamakan masyarakat Manggarai yang tinggal berbatasan dengan hutan menguasai wilayah hutan dan mengeruk hasil hutan untuk kepentingan ekonomi, bangunan, dan makanan. Penguasaan dan pengerukan wilayah hutan dengan cara pembalakan liar akan membawa dampak yang signifikan terhadap hutan baik lingkungan biotik maupun abiotik yang di dalamnya memiliki ekosistem tersendiri termasuk sumber kehidupan bagi manusia yang ada di sekitarnya serta sumber air bersih bagi masyarakat. Semua ini akan berimplikasi bagi keberlangsungan makhluk hidup dan eksosistemnya.
Selain itu, Turner (2001) menambahkan bahwa pola lahan garapan manusia  (patterns of land use) juga dapat mengubah dasar lingkungan. Hal ini bisa terjadi melalui proses alami secara langsung, dan bisa juga terjadi melalui interaksi dengan abiotik untuk menciptakan hidupnya suatu organisme, misalnya melalui reproduksi dan penyebaran. Lahan garapan  adalah suatu tempat bagi manusia mengolah lahan untuk sumber kehidupan (Meyer, 1995). Misalnya manusia mungkin memanfaatkan lahan untuk memroduksi makanan, mendirikan rumah, kegitan industri, dan untuk rekreasi (Nir, 1983) dan land cover mengacu pada habitat atau tumbuh-tumbuhan seperti hutan, pertanian, pandang rumput. Lingkungan hutan banyak dimanfaatkan untuk kepentingan logging.
Kekritisan lingkungan akan berpengaruh pada keerosian bahasa. Hasil hutan seperti raping akan terancam punah oleh akibat ketamakan sebagian masyarakat Manggarai untuk kepentingan ekonomi mereka dan juga untuk wilayah pemukiman mereka. Keerosian leksikal akan mengancam kebertahanan bahasa Manggarai sebagai bahasa ibu yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Pemertahanan bahasa sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor lingkungan itu sendiri.

II.    Landasan Teori
Pisau bedah yang digunakan untuk mengkaji masalah bahasa dan ekologi adalah ekolinguistik. Melalui ekolinguistik akan menjelaskan fenomena bahasa dengan parameter ekologi.  Seorang tokoh paradigma linguistik pertama pada 30 tahun yang lalu bernama Einer Haugen telah mengkombinasikan bahasa dengan ekologi. Dijelaskan bahwa ekologi bahasa adalah ilmu yang mempelajari interrelasi antara bahasa yang ada dalam kognitif manusia dan dalam komunitas yang multilingual. Semenjak itu, ekolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik yang mengembangkan hubungan antara bahasa dan ekologi yang telah didirikan dengan cara yang berbeda dan dengan menggunakan pendekatan, dan metode yang berbeda pula (JOrgensen dan Bendoricchio, 2001).
Ekologi merupakan ilmu yang muncul akhir abad ke-IX di Europe dan Amerika. Ilmu ekologi kelihatannya tidak hanya lingkungan manusia sebagai objek kajiannya, tetapi mempelajari banyak hal yakni kompleksitas interaksi sejumlah komponen abiotik seperti udara, air, dan komponen biotik seperti plants, animals. Ekologi manusia membangun interaksi antara manusia dan lingkungannya, dengan sangat menambah kompleksitasnya. Ekologi manusia dibatasi oleh alam dan budayanya. Misalnya masyarakat Tsembaga  dari Papua New Guinea, Shoshon Indians dari Amerika Barat, Tukano Indians dari Amazonian hutan hujan (Merchant (1992)
Selanjutnya, konsep ekologi menurut Thohir, (dalam Mbete, 2010:2) adalah ilmu yang mempelajari semua jenis makhluk hidup termasuk manusia (dengan budaya dan bahasanya dan kaitannya dengan “lingkungannya”. Selanjutnya yang dimaksud dengan lingkungan manusia atau lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik yang berwujud benda mati maupun jasad-jasad atau organisme-organisme dan di dalamnya ada manusia.
Secara umum Louis dan Calvet (2006), mendefinisikan ekologi sebagai ilmu yang mempelajari relasi antara organisme dan lingkungannya, sedangkan ekologi bahasa adalah ilmu yang mempelajari bahasa dan lingkungannya. Dalam hal ini, relasi antara bahasa itu sendiri,  antara bahasa dan masyarakat.
Beberapa konsep tentang ekologi bahasa (ekolinguistik) di atas dapat digarisbawahi bahwa dalam ekolinguistik mengandung beberapa konsep interaksi yang penting yakni keberagaman (diversity), intrarelasi (intrarelations), interrelasi (interrelations), ekstra relasi (extrarelations) bahasa, ekologi, dan  kombinasi dari komponen relasi tersebut, kemudian adanya independensi (saling ketergantungan satu sama lain) antara bahasa dan lingkungannya. Bahasa mempunyai relasi dengan ekologi yang cukup tinggi dan sulit dipisahkan. Keberagaman atau kebervariasian  bentuk leksikon, bentuk gramatika, bentuk teks, budaya dengan ekologinya, mencerminkan interaksi atau relasi suatu bahasa dan ekologinya. Seperti yang dinyatakan Derni (2008) bahwa ekolinguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa dengan lingkungan yang memiliki intrarelasi, interrelasi, ekstrarelasi dan kombinasi satu sama lain di antara unsur-unsur tersebut.
Yang mendasari kajian ekolinguistik dalam tulisan ini adalah mengacu pada citra bentuk (signifie) dan citra makna (signifient) yang dikemukakan oleh seorang tokoh linguistik modern, Ferdinand de Saussure. Menurut Ferdinand de Saussure, citra bentuk (signifie) dan citra makna (signifient) mengandung makna referensial yang  realitas di sekitar kita.
Teori  ekolinguistik  untuk  menjelaskan  interrelasi  antara bahasa dengan pemikiran manusia dan  komunikasi  multilingual  dengan  parameter  ekologi  yakni  interaksi dan interrelasi (interrelationships), lingkungan (environment) dan keberagaman/kebervariasian (diversity) (Fill, dan Mühlhüsler, 2001:1). 
Teori tersebut didasari pada prinsip interaksi, dan keberagaman/kebervariasian (diversity). Bentuk interaksi antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial  atau bahasa dan kebudayaan dapat dilihat pada level interrelasi leksikon. Sedangkan bentuk keberagaman (diversity) dapat dilihat pada tatanan kebervariasian leksikon yang dihasilkan oleh suatu bahasa tersebut. Apakah kebervariasian leksikon terjadi dalam pikiran manusia (human mind), dalam komunitas yang realitas, sistem bahasa, ataupun  interrelasi antara pembicara. Karena menurut Mühlhüsler, (2001:6) kebervariasian terjadi karena faktor adaptasi terhadap lingkungan, sedangkan Glausiusz dalam Mühlhüsler, (2001:6) kebervariasian bahasa (leksikon) terjadi karena proses evolusi.
Ekolinguistik  merupakan sebuah teori yang mengaitkan linguistik dengan ekologi. Ekologi dalam ilmu linguistik memainkan peran yang sangat penting. Pentingnya ekologi dalam ilmu linguistik terutama untuk kebertahanan bahasa. Karena ada suatu asumsi bahwa keerosian bahasa terjadi disebabkan oleh kererosian lingkungan. Berangkat dari pemikiran filosofis tersebut maka lingkungan menjadi salah satu kajian penting dalam ilmu linguistik. Sebaliknya, fakta telah menunjukkan bahwa lingkungan tanpa bahasa adalah mati. Tanpa bahasa, seseorang tidak mungkin bisa mengungkapkan kerahasiaan alam tersebut kepada orang lain. Segala sesuatu yang akan dilakukan harus menggunakan bahasa. Melalui bahasa, kita dapat mengonstruksikan pengalaman atau mengekspresikan atau mengklasifikasikan dunia nyata yang ada di sekitar kita.  Bagaimanapun bahasa merupakan hasil konfigurasi pikiran manusia dengan ekologinya. Melalui bahasa akan tergambar cara berpikir seseorang tentang sesuatu yang ada dalam dunia nyata termasuk budaya. Pengkodean masing-masing budaya tentu mengalami perbedaan atau bervariasi. Bentuk pengkodeannya bisa terjadi melalui lexicalize, gramaticalize, textualize, dan culturalize. Perbedaan pengkodean dapat dilihat pada tingkat kekayaan leksikon, gramatikal, teks, dan budaya.

III. Pembahasan
Pengkodean raping oleh leluhur orang Manggarai tidak hanya dalam bentuk leksikalisasi, gramatikalisasi, tekstualisasi tetapi juga  dalam bentuk kulturalisasi. Unsur-unsur lingual merupakan bentuk konfigurasi pikiran manusia dengan alam sebagai dunia nyata. Yang menjadi akar (root) kajian ekolinguistik adalah kata (word). Ihwal tersebut akan tercermin dalam aspek lingual yang dideskripsikan berikut ini.
1.   Leksikalisasi
Pengleksikalan raping dimulai dari penamaan, proses pembuatan, hasil olahan, unsur pemanfaatannya. Penamaan raping diklasifikasikan atas Nomina, Verba, dan Adjektiva seperti yang dideskripsikan berikut ini.
a.   Nomina

longko ‘buah enau berbentuk bulat’
leka ‘lidi’
enep ‘kulit kayu obat yang ditempel pada bagian enau’
tuak ‘tuak’
gola ‘gula’
wunut ‘ijuk’
ndara  ‘batang buah sumber air tuak’

pangka ‘dahan’
dongge ‘bambu penyimpan tuak’
sombek ‘senduk aduk gula’
cewe ‘kuali masak gula’
rimang ‘lidi hitam tajam’
dudut  ‘bagian dalam dari dahan raping’

b.   Verba

pante ‘memahat’
lempa ‘memotong dahan untuk duduk’
tewa ‘memukul’
cu’i ‘ mengambil bambu tuak dari gantungan’
kokor ‘memasak gula’
loga ‘mencuri tuak’

c.    Adjektiva

mince ‘manis’
pait     ‘pahit’
keras   ‘kadar alkoholnya tinggi’
metek ‘pahit sekali
heo    ‘asam’
juek   ‘manis sakali
geris ‘rasa tuak yang agak lama disimpan’

2.   Gramatikalisasi

a.   Kata majemuk

tuak raja ‘tuak untuk raja’
tuak bongko ‘tuak yang disimpan dalam sebuah tempat khusus’
tuak kapu ‘tuak untuk penerimaan tamu terhormat’
tuak kepok ‘tuak untuk suatu keperluan’
tuak ris ‘tuak untuk menerima  tamu secara umum’
raping koe  ‘pohon enau yang masih kecil’
raping rana ‘pohon enau yang agak muda’
raping longko ‘pohon enau yang sudah siap diolah’
raping longko kilit ‘pohon enau yang buahnya sangat lebat’
raping lombong ‘pohon enau yang buahnya kurang lebat’
raping lopo ‘pohon enau yang sudah tua’
pante tuak ‘mengiris tuak’
kokor gola ‘memasak gula (proses pembuatan)’
tewa raping ‘memukul bagian batang enau (sumber air tuak)’
loga tuak ‘mencuri tuak’
mince kokor ‘tuak manis untuk gula’
pande sari ‘ tempat masak gula’
weri likang ‘tanam batu tungku’
nare mince ‘masak tuak manis’
kako dongge ‘mencuci bambu penyimpan tuak dengan air panas’
pande galang ‘membuat format gula batang’
         haju nggebot ‘sebatang kayu tipis pengganti irus’
leke teke ‘tempurung kelapa’
gola leke ‘gula berbentuk tempurung kelapa’
gola malang ‘gula batang’
gola tarek ‘gula berbentuk cair’
gola bekel ‘gula agak lembek’
gola bongkar ‘gula agak keras’
liti wunut ‘mengambil ijuk dari pohon enau’
wesung wunut ‘menganyam ijuk dengan tangan’
wiung wunut ‘menganyam ijuk dengan alat berupa kayu’
wase oles ‘tali hasil anyam’
pote wase ‘menganyam wunut
pote sua ‘menganyam dua bagian’
pote telu ‘menganyam tiga bagian’
b.   Frase

tuak bakok ‘tuak berwarna putih’
siuk leka  ‘siuk dari leka’
enep soga ‘kulit dari pohon soga’
enep ndamer ‘kulit dari pohon ndamer’
mince juek ‘tuak yang manis sekali’
tuak pait ‘tuak pahit’
tuak mince ‘tuak manis’
mince jambu ‘tuak yang rasanya sedikit manis’
mince makit tuak yang rasa asam bercampur pahit’

c.       Metafora dan Ungkapan

Tuak toe wae  ‘menunggu yang sia-sia’
One mai cikang uwang, peang mai cikang tuak ‘Hanya tuak dan uang yang dibawa’
Kapu manuk lele tuak ‘membawa tuak dan ayam untuk meminta sesuatu’
Petu pucu jelok kemok ‘mengiris tuak’
Apa iwo toe manga one hemi manga one aku ‘Semua kebutuhan manusia ada pada pohon enau’

3.   Tekstualisasi


Tabe ité amé Bupati Manggarai Barat ata lonton bongkok, caun landuk, pongo lobo ujung pu’u lawa Manggarai Barat. Tabé kole ité amé professor. Leso ho’o ami sanggédhhh taung guru Manggarai Barat Manga ranga, neki weki ai leso ho’o guru Manggarai Barat kudut cama-cama agu ités sengaji pandé seminar kudut lorongs taé dé bolo, na’as taé de manga porong nuks koés taé weru. Ngasang profési dami sebagai guru Manggarai Barat. Io ...ho’o tuak agu ceki ité ledong disé empo, mbaté disé amé ho’o adak dami tiba agu kapu ité: cu’ung éta wuwung kéta ité lami naka lobo pa’a, kapu toé pau, pola toé gomal. Ai ité lagé bombang mésé na’ang tana kolang leso ai cama-cama agu ami guru Manggarai Barat  kudut  padir wa’i  rintuk sai tombo cama-cama lorong profési dami sebagai guru. Io ., ai ité ata don baé don ita porong pedeng koé oné nai dami guru Manggarai Barat, apa ata ita dité, ata baé dité kudut lorong kin taé bolo na’as kit taéd manga agu kumpuls kit taé  weru. Io itu rewengs dami.

4.   Kulturalisasi

Makna simbol budaya:

a.   Tuak raja

Tuak merupakan hasil olahan dari pohon raping. Dalam budaya Manggarai tuak yang digunakan untuk keperluan adat bersumber dari pohon raping. Tuak untuk keperluan adat bukan tuak manis, melainkan tuak pahit  atau  tuak yang beralkohol tinggi yang dicampuri enap soga atau enep ndamer (nama lokal). Kedua jenis kulit pohon kayu tersebut diperlukan untuk membuat tuak rasanya pahit dan warnanya putih bersih. Jika tidak dicampuri enep rasanya manis dan warnanya agak kemerahan.  Pohon soga dan ndamer biasanya tumbuh di sekitar hutan tempat tumbuhnya pohon enau.
Tuak bakok dimanfaatkan oleh leluhur untuk menyambut sang raja, atau para pemimpin (orang-orang yang terhormat) seperti pemimpin pemerintahan dan pemimpin gereja, tokoh-tokoh masyarakat. Selain untuk acara penyambutan, tuak bakok juga selalu digunakan dalam berbagai acara misalnya, pernikahan, ritual adat, ritual gereja, penyelesaian secara adat dalam sengketa lahan, dan pembunuhan atau permasalahan lainnya yang memerlukan penyelesaian secara adat. Dengan kata lain, tuak bakok berperan penting dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mengingat tuak bakok  memiliki banyak fungsinya, leluhur menamainya tuak raja ‘tuak yang dimanfaatkan untuk maskud tertentu’. Raja dimaknai ‘jenis permasalahan.’ Setiap raja, mempunyai teks yang berbeda. Dengan demikian, istilah tuak bakok bisa disebut tuak raja.

Simbol tuak mengandung makna kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan. Pemikiran filosofisnya bahwa tuak dapat mempesatukan perbedaan, menjalin persaudaraan, sehingga terciptanya kebersamaan. Ihwal ini memiliki relevansi dengan falsafah lontok leok ‘duduk melingkar’ sebagai falsafah dasar kehidupan masyarakat Manggarai yang disimbolkan dalam mbaru gendang ‘rumah gendang’  dan lingko ‘lahan pertanian berbentuk bulat’ yang dalam ungkapan budaya  yaitu gendang onen, lingkon peang.
 Kemudian, tuak untuk keperluan adat hanya tuak bakok ‘tuak putih’, bukan tuak warna lain. Sebab ada tuak hasil olahan pohon raping yang berwarna kemerah-merahan karena kulit pohon obat yang diambil bukan enep soga, atau enep ndamer dan rasanya manis. Tuak jenis ini bisa diminum oleh siapa saja termasuk ibu-ibu. Simbol bakok ‘putih’ mengandung makna kemurnian hati, kesucian hati, kegembiraan, kebanggaan atau kasih sayang.
Atas dasar pemikiran filosofis seperti itu, maka tuak putih atau tuak raja dalam budaya Manggarai merupakan simbol kebersamaan, persaudaraan dan persatuan yang dilandasi oleh kemurnian hati, kesucian hati, kebanggaan dan kasih sayang. Untuk mengikat kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan itu diperlukan uang, seperti dalam ungkapan One mai cikang uwang, peang mai cikang tuak. Jumlah uang bukan merupakan hal yang penting dalam budaya Manggarai, melainkan maknanya. Simbol uang dalam hal ini hanya sebagai jerék ‘pengikat’ kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan. Jadi, tuak bakok dan uang dalam upacara adat Manggarai merupakan hal yang sangat penting.
Dalam tradisi adat Manggarai, tuak bakok dan uang diperlukan pada saat acara adat baik dalam ritus pernikahan adat, ritual pernikahan di gereja katolik, ritual syukuran ‘penti’, penerimaan tamu-tamu terhormat, atau agung, seperti pemimpin negara, daerah, para pemimpin agama, para pemimpin lembaga pendidikan, atau orang-orang yang dipandang terhormat. Dalam acara formal atau informal seperti itu, tuak raja ini dituangkan ke dalam suatu tempat yang istilah bahasa Manggarai robo yang ditutupi dengan wunut. Robo, kemudian ditutupi wunut. Sebelum penyerahan robo diawali dengan kepok ‘teks tuturan’ yang disampaikan oleh seorang juru bicara atau tongka.
 Selain penggunaan simbol, adapula teks verbal berupa tuturan yang diucapkan oleh tongka ‘juru bicara’ dalam bahasa Manggarai menyebutkannya torok. Teks torok memiliki perbedaan tergantung konteks upacara adatnya. Perbedaan tersebut dapat klasifikasikan atas dua teks tuturan, yaitu teks kapok, dan teks kapu. Substansi persoalan dan bentuk isi teksnya pun berbeda. Tuak kepok secara implisit mengandung makna mengajak orang untuk duduk bersama, bermusyawarah untuk suatu tujuan. Isi teksnya mengandung makna mengajak masyarakat bermusyawara untuk menyatukan pikiran dan perasaan dalam menyelesaikan masalah yang ingin dipecahkan sehingga menghasilkan suara bulat dan satu tekad.
 Berbeda dengan makna tuak kapu, yaitu untuk menerima tamu terhormat. Tuak kapu untuk menyatakan rasa bangga, senang dan kasih sayang atas kehadiran atau kedatangan tamu tersebut ibarat menyambut kedatangan seorang bayi atau anak kecil yang harus dipangku (naka loba pa), digendong (kapu toe pau), dijunjung (cu’ung eta wuwung), dan dibopong (pola toe gomal). Dengan kata lain, tamu mendapat kedudukan yang lebih tinggi dalam budaya Manggarai. Cuplikan teks tuak kapu dapat dilihat pada teks berikut ini.
Io.......,ema bupati, ho’o tuak agu ceki, ata ledong disé empo, mbaté disé amé. Ho’o adak dami tiba agu kapu ité: cu’ung éta wuwung, naka lobo pa’a, kapu toé pau, pola toé gomal. Ai ité lagé bombang mésé na’ang tana kolang leso.
(Bapak Bupati, tuak dan adat-istiadat kami yang diwariskan oleh leluhur dan yang diajarkan oleh orang tua kami, untuk menerima dan menyambut kehadiran Bapak. Karena kedatangan Bapak ke tempat acara ini dengan penuh rintangan, berjalan di bawah terik matahari yang panas, beralaskan tanah. Kedatangan Bapak ke acara ini sungguh kami merasa sangat bangga dan dengan senang hati untuk menerimanya.Sepantasnya kami harus memangku, membopong, mengendong dan menjunjung Bapak).

b.   Robo

Robo terbuat dari kulit buah sayur yang isinya dibuang dan berbentuk botol tetapi agak besar, kemudian dikeringkan dibagian atas tungku api dalam waktu yang cukup lama. Penggunaan robo wajib digunakan untuk upacara ritual keagamaan di Gereja Katolik, dan upacara penjemputan tamu terhormat atau agung atau kecuali pada saat upacara adat perkawinan, dan ritus lainnya bisa menggunakan botol. Tuak bakok dituangkan ke dalam robo kemudian ditutupi oleh serabut dari raping. Makna filosofis robo adalah kesederhanaan, kerendahan hati masyarakat Manggarai dalam menerima tamu. Tamu bagi budaya Manggarai harus dihormati, dihargai, dijunjung tinggi. Karena ada suatu asumsi bahwa tamu pembawa rejeki. Berangkat asumsi itu, tamu ditempatkan pada kedudukan yang lebih tinggi bahkan diperlakukan lebih istimewa walaupun dalam penuh kekurangan dan keterbatasan kemampuan material maupun intelektual. Jika penerimaan tamu terhormat tanpa menggunakan robo, dianggap It does not make sense dan itu hanya dinilai meaningfull saja atau tidak bernilai budaya.

c.    Wunut

Wunut merupakan ijuk yang penting sekali kegunaannya terutama untuk atap mbaru gendang ‘rumah adat Manggarai’. Atap wunut menjadi suatu keharusan dalam membangun mbaru gendang. Bagaimanapun, atapnya tidak dapat digunakan selain wunut. Mencermati itu, dapat disimpulkan bahwa wunut menjadi bagian yang terpenting dalam mbaru gendang. Penggunaan wunut oleh leluhur bukan sebuah kebetulan, tetapi sebuah pilihan. Dikatakan demikian karena secara filosofis, makna wunut disimbolkan sebuah kesederhanaan, dan kerendahan hati. Pemaknaan wunut tersebut dilandasi oleh suatu pemikiran filosofis yang mendalam bagi leluhur orang Manggarai waktu itu.
d.      Mbutak
Mbutak merupakan salah satu jenis makanan tradisi bagi para petani yang bersumber dari pohon enau. Pada musim kemarau panjang yang mengakibatkan kelaparan, selain raut ‘ubi hutan’ tidak ada pilihan lain bagi para petani untuk mempertahankan hidupnya ialah mbutak. Perolehan mbutak tidak semudah yang kita bayangkan. Di samping itu, tidak semua raping bisa diambil mbutak-nya. Para peteni biasanya dilakukan ngeteng ‘memotong sebagian isi pohonnya’ dengan tujuan untuk mengetes apakah raping tersebut mengandung mbutak. Bagian yang dipotong dipukul-pukul hingga hancur, dicampuri air lalu disaring dengan kain. Kemudian airnya dibuang. Jika tepungnya berwarna putih bersih berarti pohon tersebut bisa dibuatkan mbutak.
Proses pembuatannya diawali poka ‘memotong bagian pohon’ setelah tumbang, baru kepu ‘ memotong batang beberapa bagian’ sesuai panjang batangnya. Setiap kepu di belah dua (tega) atau dibelah empat (cingke tiu) dengan kapak. Setiap potongan disandarkan  pada kayu agak miring, lalu dipacul (wincil) hingga habis isinya dengan alat berbentuk pacul terbuat dari bambu yang diruncing ujungnya bertangkai kayu agak pendek. Bagian bawahnya ditaruh daun pisang untuk menadah hasil pacul. Selain dengan cara wincil, bisa dilukan dengan cara ri’ik ‘menginjak’. Caranya sebagai berikut. Setelah batang kayu tersebut dibelah empat, lalu dipukul-pukul hingga hancur. Lalu dibuatkan tenda  berukuran: tinggi 2 meter, lebar 1,5 meter. Tenda tersebut didinding dengan wunut berbentuk piramida terbalik sebagai penyaring. Batang yang sudah hancur diletakan di atas tenda dan diinjak-injak oleh beberapa orang dicampuri air. Lalu dibagian bawah tenda ditaruh galang ‘penampung air yang terbuat dari kayu.’ Air yang ditampung di galang dibuang, tepungnya diambil.  Warna tepungnya putih bersih. Sebelum dimakan, tepung tersebut ditaruh dalam daun gebang yang sudah dianyam lalu dibakar hingga matang, baru dimakan. Untuk satu potong yang dibelah empat berukuran 2 meter bisa menghasilkan 2,5  karung ukuran 50 kg.




DAFTAR PUSTAKA

Callicott, J. Baird. 1989. In Defense of the Land Ethic : Essays in Environmental Philosophy.Albany : State University of New York Press.

Derni, Ammaria. 2008. The Ecolinguistic Paradigm: An Integrationist Trend in Language Study. Tlemcen: Abou Bekr Belkaid University  Algeria The International Journal of Language Society and Culture. www.educ.utas.edu.au/users/tle/JOURNAL/

Fill, Alwin. Peter Mühlhaüsler. 2001. The Ecolinguistic Reader. Langguage, Ecology dan Environtmen.Continuum London and New York.

Fill, Alwin. Hermine Penz (eds). 2007. Sustaining Language: Essay in Applied Ecolinguistics. Lit Verlag GmbH & Co.Kg Wien. Krotenthaergasse 1078. A-1080 Wien and London.

Jamieson, Dale. 2001. A Companion  To Environmental of Philosophy. Blackwell Publishers Inc. 350 Main Street. Malden, Massachausetts 02148. USA dan Blackwell Publishers Ltd. 108 Cowley Road Oxford 0X4 1JF, UK.

JOrgensen, S.E and G. Bendoricchio. 2001. Fundamentals of Ecological Modelling. Third Eddition. Elsevier Science Ltd. The Boulevard, Longford Land Kidlington, Oxford OX5 1GB, UK.

Louis dan  Jean Calvet. 2006. Towards An Ecology of World Languages. Polity Press. 65 Bridge Street Cambridge CB2 1UR, UK. 

Mbete, Aron Meko. 2009. Problematika Keetnikan dan Kebahasaan dalam Perspektif  Ekolinguistik. Sebuah refleksi ringan (artikel).

Merchant, Carolyn. 1992. Livable World :Timber Company You Are Selling Our Home. New York : Routledge. An Imprint of Routhledge, Chapman & Hall.Inc 29 West 35th Street NY 10001

Turner, Monica G. Robert H. Gardner. Robert V.O’Neill. 2001. Landscape Ecology In Theory & Practice : Pattern & Process. Springer Science Business Media Inc.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar