Minggu, 26 Februari 2012

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA: KAJIAN TEORI AKOMODASI KOMUNIKASI


Metadata
Perekaman data percakapan bahasa Manggarai dilakukan pada:
Hari/tanggal                      : Selasa, 5 Januari 2012
Waktu                               : pkl. 16.00 wita
Nama Informan                 : Paulus Nai
Jenis kelamin                     : Laki-laki
Umur                                 : 50 tahun
Asal                                   : Bajawa, Kabupaten Ngadha
Penutur Asli                      : Bahasa Ngadha
Alamat tinggal                  : Jl. Sernaru, Kel. Waekelambu, Kec. Komodo, Kab. Manggarai  Barat-NTT
Pekerjaan                           : Petani (selama 20 tahun tinggal di Manggarai)
Pewawancara                    : Vinsensius Gande (mahasiswa S2 Linguistik Murni)
Alat rekam                        : Tape recorder merek sony
Tujuan                               : Untuk memperoleh data transkripsi bahasa Manggarai



KOMUNIKASI ANTARBUDAYA:
KAJIAN TEORI AKOMODASI KOMUNIKASI


A.    Pendahuluan
Komunikasi antara masyarakat yang berbeda budaya merupakan fenomena yang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena-fenomena tersebut salah satunya adalah fonomena lingual. Fenomena lingual dapat kita amati langsung komunikasi yang terjadi antara seorang penutur (speaker) yang berasal dari daerah Ngada dengan mitra bicara (listener) yang berasal dari daerah Manggarai. Identitas kultural speaker identik dengan bahasa Ngada yang memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri. Ketidakmampuan speaker dalam memahami keragaman kultural menimbulkan persoalan-persoalan komunikasi antarbudaya. Dalam konteks ini perlu kita memahami pentingnya cross cultural, yaitu mampu berkonvergen dengan masyarakat yang berbeda budaya. Perbedaan budaya akan berimplikasi pada perbedaan bahasa yang digunakan. Dalam proses pengungkapan diri (self disclosure) terhadap identitas kultural, para penutur tidak melakukannya dengan leluasa kepada semua orang dan pada semua situasi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengungkapan diri tersebut, di antaranya adalah; setting of communication, faktor kedalaman hubungan, faktor jenis kelamin dan faktor asal daerah.
Perbedaan bahasa dapat berupa logat, tata cara, perilaku nonverbal, atau simbol-simbol lain yang digunakan. Salah satu yang membedakan dari cara mereka berkomunikasi adalah latar belakang budaya yang berbeda (Anugrah, 2008:31). Menurut Giles, Coupland, dan Coupland, (1991:7) perbedaan bahasa dapat berupa utterance length, posture, gesture, head nodding and facial affect, self disclosure, vocal intencity, information density, dan pausing frequencies and length. Perbedaan bahasa tersebut mengisyaratkan kita agar adanya upaya penyesuaian diri terhadap mitra tutur (listener) dengan tujuan untuk menciptakan hubungan asosiatif (konvergensi) maupun hubungan disasosiatif (divergensi).
  Untuk mengkaji fenomena bahasa tersebut diperlukan pengkajian secara komprehensif melalui Teori Akomodasi Komunikasi (TAK). TAK dapat menemukan regularitas termasuk communicative interchanges and identify, prediction, contextual configuration yang berhubungan secara sistematis satu dengan yang lainnya. Yang dimaksud konteks dalam hal ini mencakupi motivational, strategic, behavioral, attributional, dan evaluative yang interactants satu sama lain tergantung pada communication experiences dan the way in which the social practices misalnya tujuan, identitas, dan struktur sosial.
Dalam hal ini, TAK berfokus pada elaborasi sejumlah proses kontekstual seperti code, style, dan strategy. In the view of some commentators, it may even be considered the predominant theory at the interface between language, communication, social psychology (Bradac, Hopper dan Wiemann 1989; Messick dan Mackie 1989 dalam Giles, Coupland, dan Coupland, (1991:7)).
Di satu sisi, TAK dapat dilihat sebagai organisasi yang multiply organized and contextually complex set of alternatives, face to face talk. Ini berfungsi untuk index, and achieve solidarity atau dissociation from a conversational partner reciprocally dan dynamically. Di sisi lain, TAK dapat dilihat pada krakteristik pola code, dan language selection. Paradigma TAK, adalah (1) social consequences (attitudinal, attributional, behavioral, dan communicative (2) ideological dan macro-societal factors, (3) intergroup variable and processes, (4) discursive practices in naturalistic settings (5) individual life span and group language shifts.
Telaahan ini menjelaskan suatu proses adaptasi bahasa dengan adanya bentuk akomodasi komunikasi. Akomodasi diartikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain (West dan Turner, 2008:217). TAK memberikan perhatian pada interaksi memahami antara orang-orang dari kelompok yang berbeda dengan menilai bahasa, perilaku nonverbal dan penggunaan paralinguistik individu (Gudykunst dan Moody, 2002:44).
Melalui TAK pemahaman bahasa antar penutur dari kelompok yang berbeda menjadi bagian penting untuk terciptanya tujuan komunikasi.Tujuan inti dari TAK, untuk menjelaskan strategi penutur berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain selama berkomunikasi.
B.     Data
SITUASI: (Percakapan di salah satu rumah)
A     : Tabe, ite
B     : Mai ga om, silakan duduk
A     : Terima kasih
B     : Tabe, Mai ce’e ite rebaong?
A     :  Io..
B     : Apa na perlu hitu om ga?
A     : Toe da, daku mau perlu dengan bapanya nono.
B     : Oh, nggitu na. Toe mek cai na, mungkin toe cekoen tau cai e. Nunduk kat agu aku lite ra om.
A     : E da, nunduk kat daku. Jao dia itu hari, mungkin ada jual rua. Go’o jao gaku waktu itu e da daku ma lelo di rumah. Ho’o mai daku ga, jadi atau tidak beli rua itu.
B      : Eng om kami memang perlu ruha lima-n. Ada om punya?
A      : Io, ada. Harga sebutir Rp2000.
B      : Kalau gitu, bawa besok padi Om,
A      : Io..
B      : Ini sudah Bapaknya.
A      : Oe getok na, dari mana saja kraeng?
B      : Pulang dari besuk teman. Udah dari tadi?
A      : Io rebao daku ga. Reba da ite ho’o ro?
B      : Ah, ada-ada saja.

C. Pembahasan
Leksikon tabe ‘selamat’, dan io ‘ya’ dalam kalimat di atas memiliki fungsi penggunaan yang berbeda. Tabe dipakai untuk menyapa mitra bicara dan io dipakai untuk menyatakan persetujuan atau menjalin kontak antara pembicara (speaker) dan mitra bicara (listener). Leksikon tabe dan io merupakan fitur bahasa khusus (specific linguistic features) yang mencirikan keunikan bahasa Manggarai (bM). Pemakaian leksikon tabe dalam bM misalnya, dapat dibedakan atas beberapa fungsi di antaranya (1) menyampa tuan rumah, (2) menyapa tamu, (3) meminta bicara, (4) meminta permisi, (5) menyapa orang yang dianggap dihormati. Beberapa fungsi tabe tersebut dapat dijelaskan fitur-fitur konvergen (convergent features) seperti yang dianjurkan oleh Giles, Coupland, dan Coupland, (1991:7), yaitu utterance length, posture, gesture, head nodding and facial affect, self disclosure, vocal intencity, information density, dan pausing frequencies and length.
Tabe terdiri atas 3R: Ris ‘menyapa’, Raes ‘merasa bersaudara’, dan Raos ‘tujuan pembicaraan’. Ke-3R tersebut merupakan sebuah tradisi Manggarai yang sangat sulit dipisahkan dari kehidupannya. Sebab tanpa ris tamu merasa tidak raes, apalagi raos. Dalam tradisi orang Manggarai, tamu didahulukan dengan ris baru tamu dengan tuan rumah merasa raes dan raes. Dalam hal ini, tamu dengan tuan rumah sudah dianggap keluarga, sahabat sehingga tidak perlu lagi ada perasaan malu. Jika ada sesuatu yang akan disampaikan dipersilakan. Jika raes, dan raos didahulukan, maka tamu menganggap dirinya tidak berterima di rumah itu, walaupun disuguhkan dengan makanan yang enak, atau disuguhkan serba ada. Sehingga ris merupakan sebuah tradisi yang wajib dilakukan oleh orang Manggarai terhadap tamu, sebelum raes, dan raos.
a.    Utterance length
Tabe dalam kalimat di atas diujarkan agak panjang misalnya tabeù. Fitur suprasegmental [eù] merupakan syllabic timing. Bunyi vokal [e] berubah menjadi durasi panjang [eù] atau intensitas vokal (vocal intencity) berdurasi panjang dan intonasi datar. Pengucapan syllabic timing oleh mitra bicara dalam teks di atas diujarkan dengan vokal panjang [eù]. Ini menunjukkan bentuk konvergensi mitra bicara terhadap penutur asli bM. Syllabic timing [eù] pada tabe merupakan fitur khusus untuk menyapa Tuhan, menyapa tuan rumah pada saat bertamu, menyapa orang tua atau orang-orang yang dihormati, baik di luar rumah maupun di dalam rumah. Pada prinsipnya bahwa leksikon tabe digunakan untuk menyapa Tuhan dan orang-orang yang dihormati.
Selain itu, io juga diujarkan agak panjang misalnya ioù. Fitur suprasegmental [où] merupakan syllabic timing. Bunyi vokal [e] berintensitas panjang [où] tanpa tekanan atau intensitas vokal (vocal intencity) berdurasi panjang dan intonasi datar. Bunyi panjang tersebut merupakan ciri pembeda khusus untuk Tuhan, leluhur atau kepada mitra bicara yang dihormati. Sedangkan untuk tamu biasa diujarkan agak pendek [io>]. Pengujaran io dalam konteks kalimat di atas agak pendek. Mitra bicara berusaha menggunakan io untuk menunjukkan solidaritas terhadap tuan rumah yang dikunjunginya.
b.   Posture, gesture, head nodding and facial affect
Tabe dan io diujarkan dengan lebih santun kepada mitra bicara. Di samping itu, aspek posture, gesture, head nodding, and facial affect pun tidak dapat diabaikan karena bagaimanapun beberapa aspek tersebut dapat memberikan sensible atau make sense. Dalam tradisi Manggarai pengujaran tabe, dan io untuk mitra bicara yang dihormati atau Tuhan harus terlebih dahulu menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan pembicara terhadap mitra bicara. Tabe 3R tidak hanya aspek lingual yang diperhatikan tetapi juga aspek non-lingual, seperti posture, gesture, head nodding, and facial affect misalnya posisi duduk, posisi tangan saat berjabat tangan, dan posisi kepala, serta pandangan mata. Itu semua harus diperhatikan dalam tabe dan io.
Beberapa leksikon dalam teks di atas yang berkaitan dengan sapaan awal pembicaraan terhadap mitra bicara dengan tujuan untuk mengekspresikan bentuk konvergensi, di antaranya tabe ‘selamat’ dan io ‘ya’. Tabe diujarkan agak panjang dan intonasi rata. Biasanya terjadi perbedaan dalam penggunaannya oleh bukan penutur asli bahasa Manggarai. Perbedaanya terletak pada unsur suprasegmental. Penggunaan tabe dalam teks di atas merupakan syllabic timing yang berintensitas vokal panjang [eù] sedangkan io diujarkan agak pendek [io>].
c.    Jokes, ekspressing, dan solidarity
Ujaran seperti oe lae ‘maki laki’, kraeng ‘tuan’ dan reba ‘ganteng’ dalam teks di atas merupakan bentuk jokes, ekspressing,dan solidarity. Untuk kepentingan konvergensi, Pembicara (speaker) sangat penting menggunakan ujaran-ujaran tersebut agar dia dapat diterima dalam lingkungan penutur bM. Karena ada suatu asumsi bahwa bahasa dapat menciptakan solidaritas antarpenuturnya. Meskipun ujaran berupa kata-kata makian, tetapi dalam konteks tertentu dimaknai sebagai jokes dan bentuk solidaritas.
Pengujaran oe lae misalnya, dapat menimbulkan kemarahan bagi mitra bicaranya apabila keduanya belum saling kenal. Dalam konteks teks di atas, pengujaran oe lae dimaknai sebagai jokes, dan solidarity bukan bermakna makian. Penggunaan oe lae lebih diarahkan pada bentuk konvergensi pembicara terhadap mitra bicara.
Begitu pula ujaran kraeng ‘tuan’ oleh speaker terhadap mitra bicara lebih menunjukkan suatu konvergensi. Pengujaran lesksikon kraeng merupakan salah satu fitur bahasa khusus (specific linguistic features) yang melambangkan keetnisan Manggarai. Fitur bahasa khusus juga terjadi pada daerah lain, yaitu orang Bajawa disapa lame, orang Ende disapa bele, dan orang Maumere disapa mo’at. Kesemuanya ini merupakan bentuk solidaritas pembicara (speaker) terhadap mitra bicara dengan suatu tujuan agar lebih dekat, akrab, dan bersahabat.
Pengujaran reba ‘ganteng’ oleh speaker dalam teks di atas merupakan salah satu bentuk konvergensi untuk menciptakan solidarity, jokes, dan ekspressing terhadap mitra bicara. Meskipun kenyataan bahwa mitra bicara tidak ganteng, tetapi hal ini tidak diungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Pengujaran reba pertanda adanya konvergen speaker dengan mitra bicara.
d.   Information density
Dalam teks di atas terdapat sejumlah information density, yaitu toe da ‘tidak’, jao ‘mengatakan’, go’o jao ‘dikatakan demikian’, rua ‘marah’, reba da ‘ganteng sekali’, e da daku ‘ya saya punya’. Beberapa contoh tersebut ada beberapa fonem yang dilesapkan atau dihilangkan baik pada fonem akhir maupun pada fonem awal kata. Fonem yang dihilangkan atau dilesapkan di antaranya: [n] pada toe da, reba da; fonem [ng] pada e da daku, jao, go’o jao, dan fonem [h] pada rua.
Bahasa Manggarai cukup kaya dengan fonem prenasalize seperti nda, nggo’o, dan jaong.  Sedangkan bahasa Ngada tidak produktif dengan bunyi prenasalize.Oleh karena itu, penutur bahasa Ngada sangat sulit berkonvergensi dengan bunyi prenasalize. Ini berimplikasi pada penghilangan fonem nasal baik pada awal kata maupun akhir kata. Demikian pula pada fonem [h] terjadi pelesepan. Pelesapan fonem [h] dipengaruhi oleh bahasa Ngada yang tidak mengenal bunyi [h] di antara vokal. Sehingga fonem [h] pada ruha dalam bM dilesapkan menjadi rua.
Beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa densitas prenasalize, dan fonem [h] terjadi pelesapan karena dipengaruhi oleh bahasa Ngada yang minim terhadap konsonan prenasalize dan fonem [h] di antara vokal.


DAFTAR PUSTAKA


Anugrah, Dadan. 2008. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta : Jala Permata

Giles, H. Coupland, J and Coupland, N.1991. Accomodation theory: Communication, Context, and Consequence. Contexts of Accomodation: Studies Emotion & Social Interaction. Edited by Giles H, Coupland J and Coupland N. USA: Cambridge University Press.

Gudykunst, William B. and Mody ed, Bella. 2002. Handbook of International and Intercultural Communication. New York : Sage

West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta : Penerbit Salemba Humanika