Metadata
Perekaman data percakapan
bahasa Manggarai dilakukan pada:
Hari/tanggal : Selasa, 5 Januari 2012
Waktu : pkl. 16.00 wita
Nama Informan :
Paulus Nai
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 50 tahun
Asal : Bajawa, Kabupaten Ngadha
Penutur Asli : Bahasa Ngadha
Alamat
tinggal : Jl. Sernaru,
Kel. Waekelambu, Kec. Komodo, Kab. Manggarai
Barat-NTT
Pekerjaan :
Petani (selama 20 tahun tinggal di Manggarai)
Pewawancara : Vinsensius Gande
(mahasiswa S2 Linguistik Murni)
Alat rekam : Tape recorder merek
sony
Tujuan :
Untuk memperoleh data transkripsi bahasa Manggarai
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA:
KAJIAN TEORI AKOMODASI KOMUNIKASI
A.
Pendahuluan
Komunikasi antara masyarakat yang berbeda budaya
merupakan fenomena yang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena-fenomena
tersebut salah satunya adalah fonomena lingual. Fenomena lingual dapat kita
amati langsung komunikasi yang terjadi antara seorang penutur (speaker) yang berasal dari daerah Ngada dengan
mitra bicara (listener) yang berasal
dari daerah Manggarai. Identitas kultural speaker
identik dengan bahasa Ngada yang memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri.
Ketidakmampuan speaker dalam memahami
keragaman kultural menimbulkan persoalan-persoalan komunikasi antarbudaya.
Dalam konteks ini perlu kita memahami pentingnya cross cultural, yaitu mampu berkonvergen dengan masyarakat yang
berbeda budaya. Perbedaan budaya akan berimplikasi pada perbedaan bahasa yang
digunakan. Dalam proses pengungkapan diri (self disclosure) terhadap
identitas kultural, para penutur tidak melakukannya dengan leluasa kepada semua
orang dan pada semua situasi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses
pengungkapan diri tersebut, di antaranya adalah; setting of communication, faktor
kedalaman hubungan, faktor jenis kelamin dan faktor asal daerah.
Perbedaan bahasa dapat
berupa logat, tata cara, perilaku nonverbal, atau simbol-simbol lain yang
digunakan. Salah satu yang membedakan dari cara mereka berkomunikasi adalah
latar belakang budaya yang berbeda (Anugrah, 2008:31). Menurut Giles, Coupland,
dan Coupland, (1991:7) perbedaan bahasa dapat berupa utterance length, posture, gesture, head nodding and facial affect,
self disclosure, vocal intencity, information density, dan pausing frequencies and length. Perbedaan
bahasa tersebut mengisyaratkan kita agar adanya upaya penyesuaian diri terhadap
mitra tutur (listener) dengan tujuan
untuk menciptakan hubungan asosiatif (konvergensi) maupun hubungan disasosiatif
(divergensi).
Untuk
mengkaji fenomena bahasa tersebut diperlukan pengkajian secara komprehensif
melalui Teori Akomodasi Komunikasi (TAK). TAK dapat menemukan regularitas
termasuk communicative interchanges and
identify, prediction, contextual configuration yang berhubungan secara
sistematis satu dengan yang lainnya. Yang dimaksud konteks dalam hal ini
mencakupi motivational, strategic,
behavioral, attributional, dan evaluative
yang interactants satu sama lain
tergantung pada communication experiences
dan the way in which the social
practices misalnya tujuan, identitas, dan struktur sosial.
Dalam hal ini, TAK berfokus pada elaborasi sejumlah
proses kontekstual seperti code, style,
dan strategy. In the view of some commentators, it may even be considered the
predominant theory at the interface between language, communication, social
psychology (Bradac, Hopper dan Wiemann 1989; Messick dan Mackie 1989 dalam
Giles, Coupland, dan Coupland, (1991:7)).
Di satu sisi, TAK dapat dilihat sebagai organisasi
yang multiply organized and contextually
complex set of alternatives, face to
face talk. Ini berfungsi untuk index,
and achieve solidarity atau dissociation
from a conversational partner reciprocally dan dynamically. Di sisi lain,
TAK dapat dilihat pada krakteristik pola code,
dan language selection. Paradigma TAK,
adalah (1) social consequences
(attitudinal, attributional, behavioral, dan communicative (2) ideological dan macro-societal factors, (3)
intergroup variable and processes,
(4) discursive practices in naturalistic
settings (5) individual life span and
group language shifts.
Telaahan ini menjelaskan suatu proses adaptasi
bahasa dengan adanya bentuk akomodasi komunikasi. Akomodasi diartikan sebagai
kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang
dalam responnya terhadap orang lain (West dan Turner, 2008:217). TAK memberikan perhatian pada
interaksi memahami antara orang-orang dari kelompok yang berbeda dengan menilai
bahasa, perilaku nonverbal dan penggunaan paralinguistik individu (Gudykunst
dan Moody, 2002:44).
Melalui TAK pemahaman bahasa antar penutur dari
kelompok yang berbeda menjadi bagian penting untuk terciptanya tujuan
komunikasi.Tujuan inti dari TAK, untuk menjelaskan strategi penutur
berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain selama berkomunikasi.
B.
Data
SITUASI: (Percakapan di
salah satu rumah)
A : Tabe,
ite
B : Mai ga om, silakan duduk
A : Terima kasih
B : Tabe,
Mai ce’e ite rebaong?
A : Io..
B : Apa na perlu hitu om ga?
A : Toe
da, daku mau perlu dengan bapanya nono.
B :
Oh, nggitu na. Toe mek cai na, mungkin toe cekoen tau cai e. Nunduk kat agu aku
lite ra om.
A :
E da,
nunduk kat daku. Jao dia itu hari, mungkin ada jual rua. Go’o
jao gaku waktu itu e da daku
ma lelo di rumah. Ho’o mai daku ga,
jadi atau tidak beli rua itu.
B : Eng om kami memang perlu ruha lima-n.
Ada om punya?
A : Io,
ada. Harga sebutir Rp2000.
B : Kalau gitu, bawa besok padi Om,
A : Io..
B : Ini sudah Bapaknya.
A : Oe
getok na, dari mana saja kraeng?
B : Pulang dari besuk teman. Udah dari tadi?
A : Io
rebao daku ga. Reba da ite ho’o ro?
B : Ah, ada-ada saja.
C. Pembahasan
Leksikon tabe ‘selamat’, dan io ‘ya’ dalam
kalimat di atas memiliki fungsi penggunaan yang berbeda. Tabe dipakai untuk menyapa mitra bicara dan io dipakai untuk menyatakan persetujuan atau menjalin kontak antara
pembicara (speaker) dan mitra bicara
(listener). Leksikon tabe dan io merupakan fitur bahasa khusus (specific
linguistic features) yang
mencirikan keunikan bahasa Manggarai (bM). Pemakaian leksikon tabe dalam bM misalnya, dapat dibedakan
atas beberapa fungsi di antaranya (1) menyampa tuan rumah, (2) menyapa tamu,
(3) meminta bicara, (4) meminta permisi, (5) menyapa orang yang dianggap
dihormati. Beberapa fungsi tabe
tersebut dapat dijelaskan fitur-fitur konvergen (convergent features) seperti yang dianjurkan oleh Giles, Coupland,
dan Coupland, (1991:7), yaitu utterance
length, posture, gesture, head nodding and facial affect, self disclosure,
vocal intencity, information density, dan pausing frequencies and length.
Tabe
terdiri atas 3R: Ris ‘menyapa’, Raes ‘merasa bersaudara’, dan Raos ‘tujuan pembicaraan’. Ke-3R tersebut
merupakan sebuah tradisi Manggarai yang sangat sulit dipisahkan dari
kehidupannya. Sebab tanpa ris tamu
merasa tidak raes, apalagi raos. Dalam tradisi orang Manggarai,
tamu didahulukan dengan ris baru tamu
dengan tuan rumah merasa raes dan raes. Dalam hal ini, tamu dengan tuan
rumah sudah dianggap keluarga, sahabat sehingga tidak perlu lagi ada perasaan
malu. Jika ada sesuatu yang akan disampaikan dipersilakan. Jika raes, dan raos didahulukan, maka tamu menganggap dirinya tidak berterima di
rumah itu, walaupun disuguhkan dengan makanan yang enak, atau disuguhkan serba
ada. Sehingga ris merupakan sebuah
tradisi yang wajib dilakukan oleh orang Manggarai terhadap tamu, sebelum raes, dan raos.
a. Utterance length
Tabe
dalam
kalimat di atas diujarkan agak panjang misalnya tabeù.
Fitur
suprasegmental [eù]
merupakan syllabic timing. Bunyi
vokal [e] berubah menjadi durasi panjang [eù]
atau intensitas vokal (vocal intencity)
berdurasi panjang dan intonasi datar. Pengucapan syllabic timing oleh mitra bicara dalam teks di atas diujarkan
dengan vokal panjang [eù].
Ini menunjukkan bentuk konvergensi mitra bicara terhadap penutur asli bM. Syllabic timing [eù] pada tabe merupakan fitur khusus untuk menyapa Tuhan, menyapa tuan rumah
pada saat bertamu, menyapa orang tua atau orang-orang yang dihormati, baik di
luar rumah maupun di dalam rumah. Pada prinsipnya bahwa leksikon tabe digunakan untuk menyapa Tuhan dan
orang-orang yang dihormati.
Selain itu, io
juga diujarkan agak panjang misalnya ioù.
Fitur suprasegmental [où]
merupakan syllabic timing. Bunyi
vokal [e] berintensitas panjang [où]
tanpa tekanan atau intensitas vokal (vocal
intencity) berdurasi panjang dan intonasi datar. Bunyi panjang tersebut
merupakan ciri pembeda khusus untuk Tuhan, leluhur atau kepada mitra bicara
yang dihormati. Sedangkan untuk tamu biasa diujarkan agak pendek [io>]. Pengujaran io dalam konteks kalimat di atas agak pendek. Mitra bicara berusaha
menggunakan io untuk menunjukkan
solidaritas terhadap tuan rumah yang dikunjunginya.
b. Posture, gesture, head nodding and
facial affect
Tabe
dan io diujarkan dengan lebih santun
kepada mitra bicara. Di samping itu, aspek posture,
gesture, head nodding, and facial affect pun tidak dapat diabaikan karena
bagaimanapun beberapa aspek tersebut dapat memberikan sensible atau make sense.
Dalam tradisi Manggarai pengujaran tabe, dan
io untuk mitra bicara yang dihormati
atau Tuhan harus terlebih dahulu menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan
pembicara terhadap mitra bicara. Tabe 3R tidak
hanya aspek lingual yang diperhatikan tetapi juga aspek non-lingual, seperti posture, gesture, head nodding, and
facial affect misalnya posisi duduk, posisi tangan saat berjabat tangan,
dan posisi kepala, serta pandangan mata. Itu semua harus diperhatikan dalam tabe dan io.
Beberapa
leksikon dalam teks di atas yang berkaitan dengan sapaan awal pembicaraan
terhadap mitra bicara dengan tujuan untuk mengekspresikan bentuk konvergensi,
di antaranya tabe ‘selamat’ dan io ‘ya’. Tabe diujarkan agak panjang dan intonasi rata. Biasanya terjadi
perbedaan dalam penggunaannya oleh bukan penutur asli bahasa Manggarai.
Perbedaanya terletak pada unsur suprasegmental. Penggunaan tabe dalam teks di atas merupakan syllabic timing yang berintensitas vokal panjang [eù] sedangkan io diujarkan agak pendek [io>].
c. Jokes, ekspressing, dan
solidarity
Ujaran seperti oe lae
‘maki laki’, kraeng ‘tuan’ dan reba
‘ganteng’ dalam teks di atas
merupakan bentuk jokes, ekspressing,dan solidarity. Untuk kepentingan
konvergensi, Pembicara (speaker)
sangat penting menggunakan ujaran-ujaran tersebut agar dia dapat diterima dalam
lingkungan penutur bM. Karena ada suatu asumsi bahwa bahasa dapat menciptakan
solidaritas antarpenuturnya. Meskipun ujaran berupa kata-kata makian, tetapi
dalam konteks tertentu dimaknai sebagai jokes
dan bentuk solidaritas.
Pengujaran oe lae misalnya, dapat menimbulkan
kemarahan bagi mitra bicaranya apabila keduanya belum saling kenal. Dalam
konteks teks di atas, pengujaran oe lae dimaknai
sebagai jokes, dan solidarity bukan bermakna makian.
Penggunaan oe lae lebih diarahkan
pada bentuk konvergensi pembicara terhadap mitra bicara.
Begitu pula ujaran kraeng ‘tuan’ oleh speaker terhadap mitra bicara lebih menunjukkan suatu konvergensi.
Pengujaran lesksikon kraeng merupakan
salah satu fitur bahasa khusus (specific linguistic features) yang melambangkan keetnisan Manggarai.
Fitur bahasa khusus juga terjadi pada daerah lain, yaitu orang Bajawa disapa lame, orang Ende disapa bele, dan orang Maumere disapa mo’at. Kesemuanya ini merupakan bentuk
solidaritas pembicara (speaker)
terhadap mitra bicara dengan suatu tujuan agar lebih dekat, akrab, dan
bersahabat.
Pengujaran reba ‘ganteng’ oleh speaker dalam teks di atas merupakan
salah satu bentuk konvergensi untuk menciptakan solidarity, jokes, dan
ekspressing terhadap mitra bicara. Meskipun kenyataan bahwa mitra bicara tidak
ganteng, tetapi hal ini tidak diungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Pengujaran
reba pertanda adanya konvergen speaker dengan mitra bicara.
d. Information density
Dalam teks di atas
terdapat sejumlah information density, yaitu
toe da ‘tidak’, jao ‘mengatakan’, go’o jao
‘dikatakan demikian’, rua ‘marah’, reba da ‘ganteng sekali’, e da
daku ‘ya saya punya’. Beberapa contoh
tersebut ada beberapa fonem yang dilesapkan atau dihilangkan baik pada fonem
akhir maupun pada fonem awal kata. Fonem yang dihilangkan atau dilesapkan di
antaranya: [n] pada toe da, reba da; fonem [ng] pada
e da daku, jao, go’o jao, dan fonem [h] pada rua.
Bahasa Manggarai cukup
kaya dengan fonem prenasalize seperti
nda, nggo’o,
dan jaong. Sedangkan bahasa
Ngada tidak produktif dengan bunyi prenasalize.Oleh
karena itu, penutur bahasa Ngada sangat sulit berkonvergensi dengan bunyi prenasalize. Ini berimplikasi pada
penghilangan fonem nasal baik pada awal kata maupun akhir kata. Demikian pula
pada fonem [h] terjadi pelesepan. Pelesapan fonem [h] dipengaruhi oleh bahasa
Ngada yang tidak mengenal bunyi [h] di antara vokal. Sehingga fonem [h] pada ruha dalam bM dilesapkan menjadi rua.
Beberapa penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahwa densitas prenasalize, dan fonem [h] terjadi
pelesapan karena dipengaruhi oleh bahasa Ngada yang minim terhadap konsonan prenasalize dan fonem [h] di antara
vokal.
DAFTAR PUSTAKA
Anugrah,
Dadan. 2008. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta : Jala Permata
Giles,
H. Coupland, J and Coupland, N.1991. Accomodation theory: Communication, Context,
and Consequence. Contexts of Accomodation: Studies Emotion & Social
Interaction. Edited by Giles H, Coupland J
and Coupland N. USA: Cambridge University Press.
Gudykunst,
William B. and Mody ed, Bella. 2002. Handbook of International and
Intercultural Communication. New York : Sage
West, Richard dan Turner, Lynn H.
2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta :
Penerbit Salemba Humanika